LALANG UNGU

Ruang berbagi pengalaman dan manfaat

Maafkan aku, Mama…

| 83 Comments

Brak!!

Suara daun pintu terbanting yang terdengar hingga ke teras rumah, membuat Bu Winda mengerutkan kening, lalu menghela nafas panjang.

Ngambeg lagi ya, Bu ?” Tanya Bi Inah ketika membukakan pintu.

Bu Winda mengangguk sambil masuk rumah. Diletakkannya tas tangan di kursi tamu, lalu diliriknya sekilas kamar Dani –anak bungsunya- yang tertutup rapat.

Sejak dari sekolah tadi anak lanang itu sudah cemberut saja, tak mau bertukar cerita seperti biasanya, lalu diakhiri dengan aksi dramatis membanting pintu kamarnya.

“Biasa, Bi .. Terlambat dijemput jadinya manyun sepanjang jalan.” Bu Winda menjawab pertanyaan Bi Inah sambil membuka pintu kulkas, lalu meraih botol air dingin dari sana.

Bergegas Bi Inah mengambil gelas dan menyodorkan kepada majikannya.

“Mbak Rinda les, Bu?”

Bu Winda mengangguk. “Iya Bi, sampai jam 5. Nanti dia pulang naik angkot seperti biasa. Tolong gorengkan pisang yang di dapur ya, Bi.. Kalau-kalau anak-anak nanti ingin camilan.”

Nggih, Bu..”

Bu Winda kemudian beranjak ke meja makan, membuka tudung saji dan memeriksa hidangan makan siang yang sudah disiapkan. Ia pun tersenyum melihat ragam menu kesukaan Si Bontot yang sedang ngambeg tadi.

“Bi, nanti tolong bujuk ia makan ya..”

Nggih, Bu, “ jawab Bi Inah, “Ibu ndak makan siang sekalian to?”

“Nggak sempat, Bi. Nanti saya makan di kantor saja.”

Bu Winda kemudian bergegas mengambil tas tangan yang tadi ditaruhnya di kursi tamu, lalu mendekati pintu kamar Dani.

“Sayang.., Mamah berangkat dulu ya… Jangan lupa makan dulu…”

Sesaat dia menunggu di depan pintu kamar itu, lalu ketika tak ada reaksi dari Sang empunya kamar, iapun membalikkan badan, melangkah ke luar rumah menuju mobil untuk kembali ke kantor, diikuti Bi Inah hingga ke teras depan.

Setelah menutup pintu depan, pembantu setia itupun langsung melaksanakan amanah majikannya, mengetuk-ketuk pintu kamar Dani untuk mengingatkannya makan. Perlu beberapa waktu sebelum akhirnya remaja ABG itu membuka pintu kamarnya untuk merespon ajakannya.

“Berisik..!” cetus Dani sambil berjalan ke arah meja makan.

Si Bibi hanya tersenyum simpul karena tahu momongan-nya itu tak benar-benar terganggu dengan ajakannya.  Dibuntutinya Si Bontot yang bongsor itu hingga ke meja makan. Sementara itu Dani langsung sibuk menyerbu menu makan siang kegemarannya.

“Kenapa to, mas… Pulang sekolah kok marah-marah sama Mamah…?” tanya Bi Inah sambil meletakkan segelas air dingin di samping piring Dani.

“Sebel” jawab Dani singkat sambil terus asyik dengan Ikan Gorengnya.

“Lhah, kasihan sekali Mamahnya… Sudah capai-capai antar jemput tiap hari kok malah disebelin sama Mas Dani…”

“Habis, si mamah telatnya lamaaa… Hampir sejam lho Bi, aku nunggu tadi..”

“Ya maklum saja to, mas.. Kantornya Mamah Mas Dani, sekolah Mbak Rinda dan sekolah Mas Dani itu kan bukannya sebelahan..”

“Yaiyalaah…, aku juga tahu, Bi. Tapi biasanya nggak sampai telat banget seperti ini, lho..”  jawab Dani masih dengan nada anyel.

“Naah, itu mas ingat. Nggak selalu telat, kan? Cuma sekali-sekali saja… Mungkin tugas Mamah Mas Dani belum selesai tadi, kan ini akhir bulan, Mas?” Bi Inah masih mencoba menyadarkan momongan-nya akan kekeliruannya.

Dani meresponnya dengan diam. Dalam hati ia menyesal telah bersikap buruk kepada Mamanya tadi, namun …

“Coba Mamah ngijinin aku naik motor sendiri, Bi. Pasti nggak perlu tunggu-tungguan lagi seperti ini. Teman-temanku sudah banyak lho yang bawa motor sendiri…” cetusnya kemudian mengeluarkan kekesalannya.

Ah, rupanya itu dia pangkal kekesalannya selama ini. Kedua orang-tuanya belum memperbolehkannya mengendarai motor. Awalnya ia menurut dengan rela hati karena menyadari bahwa ia belum cukup umur, namun lama-lama ia merasa kesal karena sebagian besar temannya sesama kelas 3 SMP sudah mengendarai motor sendiri. Berarti, Mamah nggak sayang sama aku, putusnya…

Semakin ‘panas’ ia ketika Si Apuy, tetangga kompleks yang juga tetangga kelasnya (yang tentunya seumuran dengannya) telah wira-wiri berboncengan motor dengan Jelita – si cantik adik kelas mereka- bahkan tanpa repot-repot menggunakan helm dan perlengkapan keamanan lainnya.

Ayo, Daaan… Kapan kamu naik motor? Masa selamanya jadi anak mami diantar-jemput melulu, demikian Si Apuy biasa memanas-manasinya. Dan benar-benar berhasil rupanya, terbukti dengan timbulnya rasa iri di hati Dani untuk bisa seperti itu juga. Rasa iri yang makin membuatnya kesal terhadap Mamanya.

“Aaah, sudahlah Bi, aku mau tidur saja.” Bergegas diteguknya minum yang telah disiapkan Bi Inah, lalu ditinggalkannya meja makan menuju kamarnya. Bi Inah pun hanya bisa geleng-geleng kepala sambil membereskan piring dan gelas kotor itu.

***

Dani dan keluarganya sedang asyik menikmati makan bersama di hari minggu yang cerah itu, ketika dari arah teras terdengar ucapan salam seseorang yang sangat dikenalnya.

“Waalaikumsalaam… Maah, itu pasti Oom Wandi!” bergegas ditinggalkannya meja makan untuk membukakan pintu bagi adik Mamanya yang juga paman favoritnya itu. Mama, Papa dan Rinda kakaknya hanya bisa geleng-geleng kepala saja. Badan Dani memang bongsor, namun kelakuannya masih sering kekanak-kanakan…

“Wah, dari luar pun sudah tercium harum masakanmu, Mbak Win..” kata Oom Wandi sambil berangkulan dengan Dani mendekati meja makan.

“Halaaah…, merayuuu… Tak perlu merayu pun pasti Mamah mengajakmu makan siang, Om,” kata Rinda sambil bangkit lalu mencium tangan pamannya. Semua tertawa gembira. Pak Hari, Papa Dani segera menarik salah satu kursi untuk adik iparnya itu setelah semua bersalam-salaman dengannya.

“Wah, Pah… Motor Oom Wandi baru lhoo! Kereeen …” lapor Dani dengan antusias.

“Nah, pasti deh habis ini dia minta diajak putar-putar, Om” timpal Rinda lagi.

Orang-tua dan paman mereka pun tertawa lagi. Ya, semua tahu betul bagaimana tergila-gilanya Dani pada motor pamannya. Sudah lama dia selalu ngotot minta diajarkan naik motor, dan kunjungan pamannya di sana selalu diakhiri dengan sesi jalan-jalan berboncengan berdua antara Dani dan Oom Wandi. Tentu saja dengan Si Paman yang memboncengkannya, karena orang-tua Dani benar-benar berkeras untuk tidak mengizinkan putra-putinya mengendarai motor sebelum genap 17 tahun.

“Tenang, Boy … Pasti nanti kita cobain bareng Si Merah Perkasa-ku itu. Tapi, biarkan aku menikmati masakan Mamamu ini dulu laah… Bosan aku dengan masakan catering-an sehari-hari,”kata paman Dani menenangkan keponakannya.

“Iya, Dani. Ayo kita selesaikan dulu makan siang ini. Kasihan mamamu yang sudah capai-capai memasaknya, bukan?” timpal Pak Hari, sementara Sang Mama hanya tersenyum lebar, senang mendapati keluarganya yang selalu menikmati hasil masakannya. Merekapun meneruskan makan bersama itu dengan diselingi tukar cerita satu sama lain.

***

“Wuih…, memang nyaman dinaiki ya Oom, Si Merah Perkasa itu,” celoteh Dani sambil memutar-mutar sedotan dalam gelas Jus Mangga pesanannya, lalu menatap motor baru pamannya yang terparkir gagah di depan kios.

Seperti biasa, mereka berdua sedang menikmati minuman pesanan masing-masing di Kios Jus Buah langganan mereka, setelah beberapa waktu sebelumnya berkeliling kota berboncengan mengendarai motor itu.

Kebelet nyetir motor sendiri ya, Dan?” tanya Si Paman.

“Iyalaah… Oom tahu nggak, hampir separuh teman-temanku sudah naik motor sendiri sejak tahun lalu lho… Aku saja yang sial karena punya Mamah yang super galak,” keluh Dani, yang segera disambungnya dengan pekikan pelan karena terkejut ketika Sang Paman memukul main-main bahunya.

“Iih.. Kok gitu sih, Oom?” protesnya kemudian sambil mengelus bahunya.

“Rasain … Siapa suruh berkata jelek begitu. Tak pantas kau berkata begitu tentang Mamamu, Dani. Dia bebar-benar ibu yang hebat. Bukan karena dia kakakku yang membuatku berkata begitu, tapi kau bukan anak kecil lagi, pasti kau bisa membedakan mana ibu yang baik dan mana yang bukan,” Oom Wandi berkata panjang-lebar, sementara Dani menunduk malu.

“Iya Oom, maaf… Bukan maksud Dani begitu. Dani hanya kesal karena Mama selalu berkeras melarangku mengendarai motor sendiri. Dan selaluuu…ribet mengingatkan ini-itu sebelum aku naik motor, meskipun hanya membonceng, dan meskipun hanya dekat-dekat saja…” lirih kata Dani kemudian.

“Seperti kata Oom tadi, Dan. Kamu sudah bukan anak kecil lagi, jadi kamu pasti tahu alasan Mamamu melakukan semua itu. Badanmu memang sudah seperti anak kelas 3 SMA, kaki-kakimu panjang, cukup mencapai tanah bila naik motor. Tapi, itu bukan alasan untuk mengizinkanmu menyetir motor karena usiamu belum 17, bukan? Dan kecerewetan Mamamu mengingatkanmu untuk selalu memakai perlengkapan aman berkendara motor, tentunya karena Mama menjaga keselamatamu, bukan?”

Dani mengangguk perlahan sambil mempermainkan sedotan dalam gelasnya. Jauh di dalam hatinya ia memahami penjelasan pamannya, namun masih ada rasa kesal mengganjal di hatinya. Dan rupanya rasa itu tergambar di raut wajahnya yang kemudian terbaca oleh pamannya.

“Kasih sayang orang-tua kepada anak-anaknya, bukan berarti harus dibuktikan dengan kesediaan mereka memenuhi semua permintaan anak-anaknya. Percayalah, kasih sayang Mama-Papamu tak kurang sedikitpun dari kasih sayang orang-tua teman-temanmu itu. Bahkan Oom yakin, jauuuh lebih besar dari itu. Keinginan mereka untuk mengutamakan keselamatan putra-putrinya, jauh lebih besar dari sekedar kelegaan hati mereka karena dapat memenuhi keinginan anak-anak mereka. Meskipun untuk itu, seringkali mereka harus rela bersedih, menerima sikap buruk dari anak-anak kesayangan mereka.”

Ups! Dani merasakan tamparan yang lebih keras atas kata-kata pamannya itu, lebih dari pukulan main-main yang tadi diterimanya dari Sang Paman. Astaghfirullah… Terbayang semua sikap buruknya beberapa hari ini, terlebih kepada Mamanya. Mama yang telah membuktikan kasihnya dengan segala sikap dan tindakannya. Dan ia menyepelekan semua kasih sayang itu, hanya karena merasa malu dengan kawan-kawannya, bahkan untuk suatu tindakan yang ia tahu melanggar aturan!

“Terima kasih, Oom… Dani benar-benar malu atas sikap Dani selama ini. Kasihan Mamah…” bisiknya kemudian sambil menunduk.

Dengan lembut pamannya menepuk kembali bahunya, “Hey, Boy jangan berkecil hati. Minta maaf sama Mama nanti yaa.. Meskipun Oom yakin Mamamu sudah memaafkanmu kemarin-kemarin, tapi kesadaran dan permintaan maafmu akan sangat membesarkan hatinya.”

Mereka pun berpandangan, lalu bertukar senyum. Makin besar rasa hormat Dani kepada paman kesayangannya ini. Dalam hati ia bertekad, akan langsung minta maaf kepada Mamanya sepulang mereka nanti.

Kedua gelas mereka sudah nyaris kering, sehingga kemudian pamannya segera beranjak ke kasir, dan Dani baru akan bangkit membereskan bawaan mereka ketika telepon genggam di saku jaketnya berbunyi. Dilihatnya dari Adi, teman sekelasnya, lalu segera diterimanya panggilan itu.

“Assalamualaikum. Ada apa, Di?”

“Waalaikumsalam. Dan, kamu di mana? Si Apuy kecelakaan nih..”

“Haah? Kapan? Di mana?”

“Kata teman-teman sih tadi siang, tapi aku baru saja dengar. Dia bersama Jelita tadi, tertabrak angkot di Jl. Majapahit. “

“Di Rumah Sakit mana? Bagaimana kondisi mereka, Di?”

“Di Enggal Waras, Dan. Apuy masih koma katanya, sementara Jelita belum selesai operasinya. Kutunggu di sana ya, Dan?”

”Iya Di, aku langsung ke sana.“

Selesai menerima telepon itu, baru disadarinya ia telah terduduk lemas di bangku kios itu. Terbayang kedua temannya itu, yang saat ini harus menebus mahal kecerobohan mereka menyepelekan keamanan berkendara motor. Lalu tepukan lembut di bahu menyadarkannya.

“Ada apa?” tanya Pamannya.

Ia pun menceritakan kabar buruk yang baru diterimanya itu kepada Sang Paman, yang bersedia langsung mengantarnya menengok kedua temannya itu. Bergegas mereka kemudian meninggalkan Kios Jus langganan mereka itu.

Sambil memasang helm setelah mengancingkan jaketnya, dalam hati Dani bersyukur atas semua kecerewetan Mamanya tentang tertib dan aman berkendara selama ini. Terima kasih, Mama sayang… Maafkan kebodohanku selama ini …

***

83 Comments

Leave a Reply to mechtadeera Cancel reply

Required fields are marked *.