LALANG UNGU

Ruang berbagi pengalaman dan manfaat

Catatan Umroh 2018 (1) : Pendamping Jamaah Sepuh

| 75 Comments

Mbak…kok belum tayang tulisanmu tentang Umroh kemarin?”

“Eh..iyaa… Belum sempat, hehe..”

Sahabat Lalang Ungu, itulah sepenggal percakapanku dengan seorang teman beberapa waktu lalu, yang saat ini terngiang-ngiang kembali di benakku.

Aku tidak sedang berbohong ketika menjawab belum sempat menuliskan pengalamanku di perjalanan religi kali ini, yang Alhamdulillah telah kujalani sejak tanggal 27 Desember 2018 hingga 1 Januari 2019 lalu. Sehari setelah sampai di rumah, kondisi kesehatanku sempat ngedrop hingga sisa cuti 3 hari + 2 hari libur kulalui dengan lebih banyak di tempat tidur.

Selanjutnya, hari ketiga masuk kerja langsung dapat tugas luar provinsi selama 3 hari yang mau tak mau harus dijalani meski dengan kondisi body yang masih agak oleng. Alhamdulillah, saat ini sudah mulai fit lagi…tapi mood untuk nulis masih belum kembali sepenuhnya..hehe..

Oya, entah kenapa, kurasa memang ada yang berbeda dari perjalananku kali ini, dengan perjalanan ke tanah suci 7 tahun lalu. Saat itu, aku rajin sekali mendokumentasikan pengalamanku baik lewat foto-foto maupun catatan singkat di buku kecil yang selalu kubawa. Nah, kali ini berbeda. Aku lebih banyak merekam petistiwa-peristiwa di sekelilingku, dalam benak dan hatiku saja. Tentu saja ada foto-foto tapi tak sebanyak yang lalu. Dan buku kecilku..hanya beberapa lembar awal saja terisi. Entah kenapa..

Bukan karena tidak berkesan. Ya, bukan karena perjalanan kali ini tidak berkesan. Sebaliknya malah. Aku merasakan ada banyak sekali kesan dan pelajaran yang kuperoleh dalam kesempatan menjadi tamu Allah kali ini…tapi…entah mengapa tak mudah untuk menuliskannya.

Tapi…aku tetap akan menuliskannya, dan kumulai dari tulisan ini. Mungkin kemarin-kemarin aku hanya perlu mengendapkan segala rasa dan cerita itu, sedikit lebih lama lagi… Oya, aku menuliskan pengalamanku, bukan dengan niatan untuk menggurui ataupun pamer.

Insya Allah, tak ada sama sekali niatan itu dalam hatiku, dan semoga teman-teman yang membacanya nanti juga tidak akan merasa aku sedang menggurui ataupun pamer. Aku ingin menuliskannya, pertama dan yang paling utama adalah sebagai ungkapan rasa syukurku dan bagian dari catatan perjalanan hidupku. Apabila ada hal-hal baik atau hikmah yang dapat dipetik dari tulisan-tulisan ku itu : Alhamdulillah.. Namun bila ternyata hanya tertangkap sebagai curhat semata, mohon dimaklumi dan dimaafkan ya..teman-teman …

Jamaah Umroh Al Baika-Samawi Desember 2018 (Foto : Istimewa)

Pendamping Jamaah Sepuh

Salah satu hal berbeda yang kurasakan di perjalananku kali ini adalah peranku sebagai ‘tukang momong‘ alias pendamping bagi jamaah sepuh. Ya, kali ini aku -secara tidak langsung- mendapat amanah untuk mendampingi teman perjalanan yang sudah sepuh, yang menuntut perhatian dan energi lebih.

Flashback ke 12 tahun lalu, tepatnya di tahun 2006 ketika kami dengan berat hati harus merelakan ibu tersayang untuk pergi haji sendiri, di usia beliau yang saat itu genap 70 tahun. Saat itu, keterbatasan dana menyebabkan kami tak sanggup mendampingi beliau secara langsung dan hanya ‘menitipkan’ beliau kepada Allah Swt , para pembimbing haji dan teman-teman seperjalanan beliau saat itu. Kondisi fisik dan psikis beliau saat itu memang masih prima -bagi Lansia 70 tahun- sehingga sedikit mengurangi kekhawatiran kami, meskipun tidak berarti menghilangkan kekhawatiran itu sama sekali.

Kami selalu memantau kondisi beliau melalui KBIH yang selalu memberikan laporan berkala, dan pada akhirnya ketika ibu pulang haji dengan sehat wal Afiat tidak kurang suatu apapun…sungguh besar rasa syukur kami. Segala kekhawatiran terangkat dan berjuta rasa terimakasih kami sampaikan kepada pembimbing maupun teman-teman perjalanan ibu yang tentunya sangat besar perannya dalam kondisi ibu tersebut.

Nah, saat itu sempat terbersit dalam hatiku : kelak, bila aku berkesempatan untuk menjadi Tamu Allah, aku akan membalas budi baik semua orang itu dengan memberikan bantuan kepada jamaah-jamaah sepuh yang menjadi teman seperjalananku… Lima tahun kemudian saat berhaji di 2011, hal itu telah kulakukan meski tidak total, karena sebagian besar teman perjalananku saat itu merupakan orang-orang dewasa yang mandiri. Ada beberapa yang sepuh, namun didampingi oleh keluarganya. Dan rupanya, saat menjadi Tamu Allah di akhir tahun kemarin, Allah memberikan kesempatan padaku untuk menuntaskan ‘hutang’ itu dengan memberi peran pendamping jamaah sepuh kepadaku.

Rombonganku kali ini berjumlah 28 orang (29 dengan Ustadz pembimbing) dan ada 7 orang di antaranya yang sudah sepuh ( di atas 65 tahun ). Satu di antaranya sekamar denganku, berusia sekitar 70 tahun..dengan fisik dan semangat yang jempol (kuat melakukan 3 paket umrah -termasuk Thawaf & Sai mandiri tanpa bantuan – selama 3 hari berturut-turut!), namun beliau mempunyai keterbatasan : hanya bisa berkomunikasi dengan bahasa Jawa.

Nah, sebagai teman sekamar ( di Madinah dan Makkah ) otomatis kami (aku dan mba Ety teman sekamarku yang lain) didaulat menjadi pendamping beliau selama di sana. Oya, sebelum meninggalkan tanah air kami sempat singgah bermalam di Hotel Ibis Tangerang, nah.. teman sekamarku waktu itu adalah Lansia juga. Rupanya di situlah peran pendampingku di mulai : mengajarkan pemakaian toilet dan shower.. Alhamdulillah, Simbah teman sekamarku cepat nangkep dan sore itu hingga siang hari berikutnya, berlalu aman tanpa insiden yang berarti 😊

Alhamdulillah peran kami kemudian  sebagai pendamping jamaah sepuh di  Tanah Suci dapat berlangsung dengan cukup baik, meskipun ada satu insiden di Madinah, yaitu sempat hilangnya Sang Nenek teman sekamarku, dari rombongan kami.

Ceritanya sore itu kami sedang bergegas menuju masjid Nabawi untuk sholat ashar, dan karena satu dan lain hal, kami terlambat berangkat. Sampai di halaman masjid sudah terdengar Iqomah tanda sholat Ashar akan segera dimulai. Saat itu tiba-tiba Simbah mengatakan bahwa ia perlu berwudhu lagi, sehingga aku mendapat tugas untuk mengantarkan beliau bersuci sementara yang lain mengambil tempat shalat di halaman masjid sekitar pintu 22.

Aku dan Simbah segera bergegas menuju ujung halaman pintu 24, di mana ada tempat mengambil air minum yang dapat digunakan secara darurat untuk berwudhu. Ketika itu beliau berkata agar aku segera mengambil tempat dan sholat agar tidak tertinggal jamaah Ashar. Setelah menimbang-nimbang akupun meninggalkan beliau beberapa langkah ke depan, mengambil tempat pada shaf paling belakang di halaman pintu 24 itu, sambil wanti-wanti berpesan agar beliau segera menyusulku ke sana setelah siap.

Ketika sholat selesai, tak kutemui sosok beliau di sampingku, di belakangku, bahkan di sekitarku sejauh mataku memandang, maka akupun merasa panik! Ya Allah…Simbah hilang! Aku segera memasukkan perlengkapan sholatku ke dalam tas, dan bergegas mencari beliau dari shaf belakang hingga depan..lanjut beberapa baris kanan-kiri, dan masih tidak menemukannya. 😞

Aku kemudian menuju pintu gerbang 22 tempat janjian rombongan kami, mengabarkan kepada rombongan bahwa Simbah hilang. Ibu-ibu langsung heboh, sementara Bapak-bapak relatif tenang. Kami pun berbagi tugas, mencari secara berkelompok. Kami gagal menemukan Simbah sore itu, meskipun terus mencari selama jeda Ashar hingga waktu Maghrib tiba. Sesudah sholat Maghrib pimpinan rombongan memaksa kami untuk pulang, makan malam sebelum nanti berangkat lagi untuk sholat Isya dan ziarah ke Raudhah.. Kami harus berserah kepada Allah..

Ustadz membesarkan hati kami, insya Allah Simbah sehat selamat dan akan segera ditemukan, namun rasa hatiku saat itu sungguh tak karuan.. Rasa bersalah karena lalai, rasa khawatir akan keselamatannya dan sepenuh hati kumohon kepada NYA untuk keselamatan Simbah dan mengizinkan kami segera dapat berkumpul kembali. Ya Allah…kurasa sungguh ujian yang cukup berat bagiku saat itu.

Alhamdulillah, Simbah dapat kembali berkumpul bersama kami malam itu. Beliau diantarkan oleh jamaah dari Jogjakarta yang melihat nomor kontak pembimbing kami yang tertera pada kalung identitas yang Simbah pakai. Kejadian itu sungguh suatu pelajaran berharga bagi kami dan khususnya aku.

Salah satu hikmah dari peristiwa itu adalah kebersamaan kami semakin terasa, dan kami semakin saling menjaga satu sama lain. Sejak saat itu kami semakin protektif terhadap setiap anggota rombongan. Tugas mengawasi Simbah tidak hanya menjadi tanggungjawab kami berdua sebagai teman sekamar, namun anggota rombongan lainnya juga peduli. Tangan-tangan kami lebih sering saling menggenggam, tidak hanya saat Thawaf dan Sai yang penuh perjuangan, namun juga pada sebagian besar perjalanan kami di Tanah suci ini.. Kami menjadi semakin dekat satu sama lain 🙂

Nah teman, itulah sebagian pengalamanku dalam perjalanan religi kali ini. Beberapa catatan penting kali ini : (1) Jangan pernah tinggalkan kalung identitas jamaah, karena di sana ada nomor-nomor kontak penting yang dapat dihubungi saat terjadi keadaan darurat. (2) Selalu gunakan identitas penanda rombongan, misal slayer/ syal berwarna tertentu / penanda lainnya. Bukan hanya memudahkan kita untuk ditemukan saat terpisah, namun juga memudahkan anggota yang terpisah / rombongan lain yang menemukan anggota kita yang terpisah, untuk menemukan kita. (3) Saat terpisah dari rombongan, jangan panik. Cari tempat aman untuk menepi, menunggu anggota rombongan lain yang pasti akan mencari, karena bila kita terus bergerak tanpa arah, maka akan lebih sulit dan memakan waktu  untuk saling menemukan.

Slayer kelompok dan kalung sebagai identitas Jamaah Umroh

Sampai jumpa di #catatanumroh2018 berikutnya ya..

Untuk persiapan Umroh, bisa baca juga :

Mengawali langkah kembali menjadi Tamu Allah (2)

Mengawali langkah kembali menjadi Tamu Allah (1)

Penggantian Paspor Habis Masa Berlaku Ternyata Mudah

 

75 Comments

Leave a Reply to mechtadeera Cancel reply

Required fields are marked *.