…
” Rin, kenapa sih muka lo jutek amat sama si Bunga?”
“Gue sebel sama dia!”
“Iya gue tahu… Muka lo gak bisa bohong… Tapi kenapa? Bukannya kemarin-kemarin kalian sohiban?”
“Gue remidi di MaKul Pak Ali. Nah dia, yang jelas-jelas nyontek ke gue, justru dapat B. Gimana gue gak sebel?”
“Wah, pasti persis banget tuh jawaban kalian… Pak Ali kan sudah bilang kalau ada jawaban sama persis, salah satu pasti dapat nilai D, terlepas dari betul tidaknya jawaban itu…”
“Nah itu dia… Gue sudah bilang ke Bunga, boleh nyontek jawaban gue, tapi tulis lagi pakai kata-kata sendiri. Eh, rupanya dia nyontek plek-ketiplek sama persis, apesnya lagi lha kok punya gue yang dapat D. Huuh…”
…
Kisah di atas – dengan nama-nama pelaku berbeda- betul terjadi, suatu saat di masa lalu. Dan rekaman percakapan dalam memoriku itu terputar lagi di benak saat ini, ketika kejadian contek menyontek -kalau di dunia maya kita kenal dengan istilah copas alias copy-paste – kualami sendiri.
Beberapa waktu lalu ada pemberitauan via email untuk persetujuan sebuah backlink ke beberapa tulisanku. Kusetujui, tapi sambil heran karena kok persis sama dengan internal backlink yang baru kubuat kemarin untuk mendukung tulisan baruku.
Akhirnya kuperhatikan lagi, dan ternyata itu bukan internal link yang kubuat, tapi berasal dari blog lain. Penasaran aku pun berkunjung ke blog tersebut, dan di sana terkaget-kaget lah aku… *lebaymodeon
Blog itu rupanya blog jualan, tapi artikel-artikel yang tertulis di sana tak ada -atau setidaknya hampir tak ada- hubungannya dengan dagangannya. Macam-macam artikel mulai dari cerita tentang lembaga pendidikan, cerita jalan-jalan hingga post yang jelas-jelas merupakan entry event lomba, ada di sana. Dan di antara banyak artikel itu, nangkring dengan manisnya beberapa tulisanku, masing-masing full tulisan dari atas sampai bawah, lengkap dengan foto-fotonya. Oya, di bagian bawah tiap artikel ditulis nama yang nge-link ke blog penulis asli. Jadi semacam tulisan kontributor.
Aku merasa tak pernah dimintai izin untuk berperan sebagai kontributor, apalagi terima apapun dari pemilik blog itu. Tapi mungkin itulah yang akan dipikirkan orang-orang bila melihat / membaca blog itu. Aku bahkan tak tahu siapa di balik blog jualan itu, mungkin bahkan hanya robot, yang mencomot beberapa tulisan begitu saja dari ribuan bahkan jutaan blog yang ada di dunia maya itu.
Sebelnya lagi -melihat dari tanggal post artikel- rupanya tulisan-tulisanku nangkring di sana hanya selang beberapa hari setelah tiap artikel itu tayang di blogku. Otomatis? Mungkin juga, itu pendapat beberapa rekan yg kutanya tentang hal itu. Tampaknya itu perbuatan robot yang digunakan untuk blog-blog semacam itu. Apa ya istilahnya? AGC atau Auto Generated Content , konon merupakan sebuah trik ‘hitam’ yang dapat membuat content ( generated ) dari hasil search Google/Yahoo/Bing atau search engine (SE) lainnya (sumber : stopagc[dot]wordpress[dot]com).
Ketika kuceritakan di salah satu komunitas yang kuikuti, ada banyak tanggapan yang kudapat. Ada yang prihatin dan menyayangkan, ada yang menyarankan untuk menelusuri dan bersikap keras pada pelakunya, tapi ada pula yang menganggap remeh karena itu hal biasa di dunia maya, menyarankan agar tidak baperan dan harus bisa berlapang dada, berbagi tak akan rugi, dll…
Hei, aku sih bukan tak mau berbagi, baik di dunia nyata maupun maya. Tapi aku sangat tidak suka dengan caranya itu lho! Terserah saja dianggap baperan ataupun lebay-surebay dengan ketaksukaanku itu. Saking jengkelnya aku bahkan sempat jadikan status di FB dengan menyertakan SS akun itu dan kata-kata yang jarang keluar dari kamusku (tapi akhirnya status itu kuhapus karena nggak tega akunku dikotori hasil kemarahanku itu, dan jangan-jangan malah makin mempopulerkan blog itu..huh..ogaah..).
Kenalan lain -yang kuanggap pakar di dunia maya- menyarankan untuk menghubungi yang bersangkutan dan meminta baik-baik untuk menghapus konten-konten itu jika aku keberatan tetap ada di sana, dan itu lah yang akhirnya kulakukan, ketika teman lain (yang juga salah satu korban AGC ini) akhirnya berhasil melacak alamat email sang pelaku. Terima kasih, Detektif Innayah… 🙂
Akhirnya, setelah berbalas email dengan pelaku tersebut, dia minta maaf dan menghapus tulisan-tulisanku dari blognya -yang memang isinya semua copasan- itu. Oya, rupanya blog itu hanya salah satu dari ternak blog miliknya.
Salah satu alasan yang dikemukakannya untuk membenarkan apa yang dilakukannya adalah bahwa dia menyertakan link blog asli di tiap artikel, jadi dia justru memberikan manfaat bagi blog yang diconteknya. Hm… entahlah, aku tetap tidak setuju apalagi respek dengan cara ini.
Bagaimana menurutmu, teman? Apakah memang copas yang rupanya sudah membudaya saat ini harusnya memang diikhlaskan saja? Tak perlu baper menanggapinya? Tak perlu menegur orang yang mendapat keuntungan dari memanfaatkan orang lain? Apakah copas seluruh artikel menjadi legal hanya dengan menyertakan link tulisan asli?
Ah, sudahlah… Minimal ini sebuah pembelajaran yang kudapat dari interaksi di dunia maya -yang seringkali juga berimbas di dunia nyata- dan semoga juga menjadi pembelajaran buat teman-teman lainnya..
Selamat berakhir pekan, teman-teman… Salam kreatif!
45 Comments
Leave a reply →