LALANG UNGU

Ruang berbagi pengalaman dan manfaat

Dances with Wolves, film favoritku.

| 24 Comments

Lalang Ungu. Hai..haiii…jumpa lagiii…

Weekend begini, apa yang paling asyik untuk dilakukan bersama keluarga atau orang-orang tersayang? Banyak tentunya ya… Jalan-jalan, makan bersama, nonton bareng, atau sekedar kumpul-kumpul di rumah saja.

Ngomong-omong tentang nonton, teman-teman Blogger Gandjel Rel lagi asyik membahas tentang film-film favorit niih… Itu karena pada tema arisan Blog yang ke-8 kali ini, tema yang disepakati adalah : Film favorit sepanjang masa. Tema itu adalah usulan dari 2 blogger keren Gandjel Rel yaitu mba Untari pemilik Blog Dunia Qtoy dan Ira Sulistiana penulis Blog Catatan Isul.

Hmm… Buatku, ini tema yang cukup berat, karena aku nggak hobby nonton. Hehe… Dari jaman sekolah sampai dengan saat ini, cuma beberapa gelintir saja judul film layar lebar yang kutonton. Alhamdulillah masih ditambah sedikit lagi judul-judul film yang tayang di TV. Kebanyakan film yang kutonton adalah film-film dari Tom Cruise, Ricard Gere dan Kevin Cotsner.. 3 aktor favorit dah itu..Hihi…

Dari sedikit judul film yang pernah kutonton, salah satu yang terfavorit bagiku adalah Dances with Wolvessebuah film yang disutradarai dan dibintangi oleh Kevin Cotsner dan rilis tahun 1990.

Poster Film Dances with Wolves

Jaduuul….

Iya, betuul… Ini memang film jadul. Mungkin ada di antara teman-teman yang bahkan belum lahir saat penayangan film ini ya, sedangkan aku nonton film ini jaman kuliah… *gak perlu lihat KTP, sudah ketahuan umurku ya? 😀

OK, abaikan fakta tentang umur..dan kembali ke film keren ini.

Film ini dibuat berdasarkan buku berjudul sama yang ditulis oleh  Michael Blake di tahun 1988, menceritakan tentang kisah seorang prajurit Amerika Utara di Perang Saudara (Letnan John Dunbar ).

Dibuka dengan kondisi Lt John Dunbar yang terluka parah hingga kakinya akan diamputasi, yang mendorongnya melakukan upaya ‘bunuh diri’ dengan nekad menaiki kuda menyerbu sendirian ke medan pertempuran, namun justru tindakannya itu menyebabkan kemenangan di pihak pasukannya. Akibat peristiwa itu Dunbar dianggap sebagai pahlawan dan dikabulkan keinginannya untuk ditugaskan ke tempat yang diinginkannya : perbatasan terpencil.

Fort Sedwick, itulah  nama pos perbatasan paling barat yang menjadi tujuannya. Ternyata pos perbatasan itu telah ditinggalkan dan terbengkelai. Dia kemudian menjalani hari-harinya sendirian di sana, melakukan perbaikan-perbaikan yang diperlukan, melakukan tugas pemantauan keliling dengan kuda kesayangannya dan belajar berinteraksi dengan alam sekitarnya -yang digambarkan dengan indahnya- termasuk menjalin ‘persahabatan’ dengan Two Socks , nama yang diberikannya untuk seekor serigala liar yang sering mengunjungi pos-nya.

Two Socks Si Serigala Liar

Sendiri melewati hari-hari nan sepi

Peristiwa kedatangan seorang Indian dan kemudian perjumpaannya dengan seorang wanita kulit putih yang ternyata merupakan bagian dari keluarga besar Indian Sioux merupakan awal dari interaksi Dunbar dengan Suku Indian Sioux yang menguasai wilayah itu.

Tetangga baru yg akhirnya menjadi Keluarga

Komunikasi yang akhirnya terjalin antara mereka tentunya tidaklah mudah, namun proses interaksi itu sungguh kunikmati. Ternyata tak semua Indian kejam dan tak punya hati. Film ini menceritakan sisi lain kehidupan suku Indian dari kacamata orang kulit putih yang kemudian memilih untuk hidup bersama mereka.

Menulis buku harian adalah rutinitas Dunbar

Pemandangan alamnya yang disuguhkan dengan indah merupakan daya tarik utama bagiku untuk menyukai film ini. Selanjutnya, proses interaksi dua budaya yang sangat berbeda ini pun ditampilkan dengan apik dan memikatku. Oya, ini bukan film action ya.. Jadi jangan harapkan ada adegan-adegan peperangan yang seru. Ini film yang tenang -cenderung lambat bagi beberapa orang- dengan detil penemuan jati diri seseorang serta penggambaran lain tentang Suku Indian, berbeda dengan yang sebelumnya ditampilkan yaitu sebagai sosok-sosok yang kejam dan haus darah.

Sayangnya, ini bukan film yang happy ending. Meskipun Dunbar menemukan cintanya serta persahabatan yang tulus dengan Burung Menyepak -Si Dukun Sioux- dan telah dianggap keluarga -dengan pemberian nama khusus yaitu Dances with Wolves– namun ia akhirnya dihadapkan pada pilihan yang menyedihkan.

Kedengkian seorang prajurit lainnya menyebabkan kesalah-pahaman dan Dunbar dianggap berkhianat terhadap kesatuannya. Ia menjadi buruan, dan pilihannya adalah tetap tinggal bersama sahabat-sahabat Indiannya namun membahayakan kehidupan mereka, atau pergi meninggalkan kehangatan keluarga barunya, demi keselamatan mereka semuanya.

Ketulusan hati adalah bahasa yang universal. Itu adalah salah satu pelajaran yang kupetik dari film ini. Perbedaan bahasa tentu saja menjadi kendala sangat besar dalam berkomunikasi, namun ketulusan hati tetap terbaca melalui bahasa tubuh dan akan menjadi jembatan yang memudahkan terjalinnya komunikasi.

Demikian juga aku belajar tentang keikhlasan, rasa terima kasih dan rela berkorban, sebagai dasar dari suatu persahabatan yang tulus. Persahabatan yang tak mengenal perbedaan suku, budaya, dan warna kulit. Perbedaan lintas budaya yang menyentuh dan mengharukan.

Nah, itulah sekilas cerita tentang film favoritku Dances with Wolves. Bagi yang juga menyukai film ini, mari kita bernostalgia bersama… Bagi yang penasaran seperti apa filmnya, gugling saja, banyak sinopsis tentang film peraih 7 piala Oscar ini. Mengunduh filmnya juga masih bisa kok, seperti yang kulakukan sebelum menulis ini, hehe… Ada komen tentang film ini? Yuuk, bagi di kolom komen yaa…

24 Comments

Leave a Reply

Required fields are marked *.