“Dio sayaang…, baik-baik dengan Oma Nina ya… Nggak boleh rewel…” begitu bujuk Mama Luna sambil mengelus kepalaku dan berusaha memindahkanku dari gendongannya, ke pelukan Oma Nina.
Aku meronta tak mau lepas dari gendongannya, dan dia pun kembali memeluk dan menenangkanku. ” Cuma beberapa hari, sayaaang… Lalu mama akan menjemputmu dan kita bersama lagi,” bujuknya lembut. Akhirnya akupun menurut, berpindah dari pelukan hangatnya ke pelukan rapuh Oma Nina. Sekilas diciumnya kepalaku, lalu bergegas menuruni anak tangga, meninggalkanku. Ah, aku tak tahan dengan perpisahan ini, kupalingkan wajahku dari memandangi langkahnya yang lambat karena perutnya yang mulai membuncit. Cepat jemput aku kembali, mama…bisik hatiku.
Namun ternyata, janjinya tak kunjung nyata. Hari berganti, minggu berlalu dan perpisahan di tangga rumah Oma Nina itu telah terhitung bulan, tanpa kehadirannya kembali. Tiap sore aku setia duduk menantinya di anak tangga teratas teras rumah Oma Nina, dengan keyakinan penuh bahwa itu adalah sore terakhir penantianku… namun sejauh ini semua tampaknya sia-sia. Malam selalu menjelang begitu cepat dan mengakhiri penantianku, karena Oma Nina tak pernah membiarkanku menunggu di kegelapan malam. Dengan penuh kasih ia akan mengajakku masuk rumah, sebagaimana kasihnya mengurusiku selama itu, namun dia bukan kamu, mama…
Sore ini, entah sore yang keberapa, tak sanggup lagi aku menghitungnya. Rembang petang rupanya telah menjelang, dan dengan lesu aku menyadari, rinduku padamu belum akan tuntas malam ini. Nanar kupandangi kelokan jalan di depan rumah, sebelum sebentar lagi Oma Nina mengajakku masuk.
Ya Tuhan! Bukankah itu kau yang berdiri di balik pagar??? Mama… kenapa kau hanya berdiri diam di situ dan tak segera menghambur memelukku? Bergegas aku bangkit dari dudukku untuk menyambutmu, namun… dua buah tangan hangat memelukku tiba-tiba. Sambil mengangkat tubuhku ke dalam pelukannya, Oma Nina tersedu.
“Ah.. Dio, kasihan kau nak… Penantianmu sia-sia… ” begitu bisiknya lirih.
Hah, apa maksud Oma Nina? Penantianku sudah berakhir, Oma… Bukankah itu Mama Luna yang datang hendak menjemputku? Aku meronta, ingin melompat dari pelukannya, sementara pandanganku ke pagar terhalang tubuhnya.
“Dio…, Mama Luna sudah pergi, nak… Dia dan bayinya, tak berhasil bertahan…” bisik Oma Nina kembali, kali ini sambil berputar kearah pagar, lalu duduk memangkuku di ujung anak tangga itu.
Mataku nanar mencari sosok Mama Luna di balik pintu pagar. Ya, dia masih berdiri di sana menatapku sambil tersenyum, ah… ada bayi mungil dalam gendongannya… tapi… mengapa bayangnya mengabur? Mama Luna, jangan pergi !!
Arrgh… aku tak berdaya melepaskan diri dari gendongan Oma Nina, menatap bayangan terkasih yang perlahan memudar di balik pintu pagar…. dan tangisan sedihku hanya berupa eongan tak jelas, teredam pelukan erat Oma Nina…
Note : 413 kata.
15 Comments
Leave a reply →