Pria muda itu masih asyik dengan komputer yg sedang dibongkarnya, ketika Bu Citro membuka pintu kamarnya dengan hati-hati.
“Makan dulu, Wid..” sapanya lembut dari arah pintu kamar.
Widi -pria muda itu- menoleh kearah suara itu dan tersenyum, ” Sebentar bu, nanggung nih…”
Sang ibu kemudian masuk dan duduk di kursi sebelah Widi, memandang putra bungsunya dengan penuh sayang. Hm, anak ku terlihat semakin dewasa… pikirnya.
“Ada apa to, buk? “
“Ndak ada apa-apa, nang… Mosok ibu ndak boleh nemeni kamu disini to?”
Kali ini Widi benar-benar menghentikan kegiatannya dan berpaling badan, menghadap langsung pada ibunya.
“Aah…gak percaya aku buuk… Biasanya, kalau ibu bersikap begini pasti ada hal penting yg ingin ibu sampaikan. Rak iyo, to buk? ” tanyanya sambil kembali mengulas senyum. Dan senyum itu menular, sang ibu pun mengulas senyum di bibir sepuhnya.
“Iku lho, Wid… Tadi, bapakmu membaca pengumuman lagi…”
Widi menghela nafas panjang. Tak perlu dijelaskan panjang lebar oleh ibunya, ia sudah tahu bahwa ‘pengumuman’ yg dimaksud sang ibu adalah tentang penerimaan CPNS yang ada di koran daerah. Dan itu ‘alamat’ akan terjadi gegeran lagi antara dia dan ayahnya, seperti yang sudah-sudah.
“Piye, masih tetep ndak mau daftar? ” tanya sang ibu.
“Ibu pasti tahu jawabanku. Dan pasti juga sudah hafal alasanku, kan buk ?”
“Iyo, nang… Ibu tahu, kemarin2 kamu menolak karena ndak minat jadi pegawai negri. Yg ibu pengen tahu apa tahun ini yo masih begitu?”
Widi kembali menghela nafas panjang sambil memandang ibunya dalam-dalam. Duh Gusti…kenapa susah sekali meyakinkan bapak-ibu bahwa aku sama sekali tak berminat mengikuti jejak bapak, ibu dan bahkan keempat kakakku? keluhnya dalam hati.
Tumbuh besar di lingkungan keluarga pegawai negri membuatnya tahu sekali bahwa itu pula yang diharapkan kedua orang tuanya akan masa depannya. Jaminan masa tua, itu salah satu alasan yg sering diungkapkan ayahnya. Namun, entah mengapa, sejak lama Widi tahu bahwa ia tak ingin terjebak dalam pemikiran seperti itu. Ia ingin mandiri, mengembangkan hobby & potensi yg dimilikinya, berwira usaha dan syukur-syukur kelak bisa membuka lapangan kerja bagi orang lain. Itu sebabnya sejak lulus kuliah 3 tahun lalu ia sibuk merintis usaha, dengan modal awal dari uang tabungannya.
Meskipun usahanya selama 3 tahun ini cukup baik- terbukti dengan tempat usahanya yg alhamdulillah cukup ramai- ternyata kedua orang tuanya -terutama ayahnya- masih menganggap Widi belum mempunyai pekerjaan tetap. Apa yang bagi Widi sudah menjadi usaha pokoknya, ternyata masih dianggap kegiatan iseng-iseng saja oleh ayahnya. Hal itu yang menyebabkan beliau selalu menyuruh Widi mendaftar setiap kali ada penerimaan CPNS. Itu pula yang menyebabkan gegeran acapkali terjadi, karena Widi dengan ngototnya tetap tak mau, bahkan bila itu hanya mendaftar secara formal sekedar menyenangkan hati orang-tuanya. Baginya, bila memang tak bersungguh-sungguh, lebih baik tidak melakukan sama sekali, sangat tidak adil bagi yg lebih berminat / membutuhkan, begitu prinsipnya.
“Wis, nang…nggak usah dipikir lagi. Sebenernya, ibu tadi cuma ngetes saja kok…” suara lembut ibunya membuyarkan pikiran Widi yg sempat berlarian tadi.
“Lho…maksud ibu ki piye to ?” Widi menegaskan dengan raut wajah super penasaran.
“Jan-jane, bapakmu ki sudah ndak akan maksa-maksa lagi kok, nang…”
“Lha kok bisa ?” masih tak percaya rupanya si Widi ini.
Sang ibu tertawa kecil, ” Wis, ayo makan dulu ah…” begitu jawabnya sambil beranjak dari kursi.
“Yaah..ibuuk… Cerita dulu, to…” kata Widi segera sambil menahan lengan ibunya. Akhirnya ibunya mengalah.
” Beberapa hari kemarin, bapak sempat diskusi dengan mbakyu2 dan mas mu. Yo soal kowe kuwi. Intinya, mereka berusaha memberi masukan pada bapakmu, agar ndak lagi ngoyak-oyak kamu jadi PNS karena rupanya memang duniamu bukan disana…” jelas sang ibu panjang lebar.
“Bapak langsung trimo? ” nada heran jelas terdengar dari suara Widi. Setelah 3 tahun bersitegang, masa iya si bapak nyerah begitu saja?
“Yo jelas ora, nang… Eyel-eyelan dhisiklah…” jawab ibunya sambil tertawa, dan Widi pun ikut tertawa lega. Sangaaat lega… Mbak, mas, sungguh besar rasa terima kasihku pada kalian, begitu ujarnya dalam hati. Kok yo nggak dari dulu…hehe…
“Dan yang paling membuat bapamu legowo, adalah kenyataan bahwa usahamu ini sudah terbukti bisa berkembang. Itu bukti kesungguhanmu dan bapak ibu sangat bangga dengan keuletanmu, nang…”
Duuh Gusti…Alhamdulillah… Serasa air sejuk menyiram hati Widi. Semoga dengan restu bapak ibu & keluarganya, usaha yg sedang dirintisnya ini akan semakin maju. InsyaAllah…
***
Tulisan diatas, adalah tayang ulang dari fiksi berjudul RESTU yang pernah tayang di blog lamaku. Tiba-tiba saja ingin menayangkannya kembali di sini, setelah beberapa waktu lalu sempat membaca berita bahwa ratusan ribu orang akan mengikuti test CPNS, memperebutkan 14.500 ‘kursi’ PNS yang dibutuhkan tahun ini…
Memang ada banyak orang muda yang berpendapat seperti Widi : lebih memilih menjadi wiraswasta atau pegawai swasta, dibanding menjadi pegawai negri. Namun bila menilik berita yg kubaca itu, ternyata, masih banyak pula yang tetap memilih mengadu nasib -mungkin bahkan setiap tahun- demi menjadi pegawai negri, apapun alasannya.
Namun sebenarnya kenyataan bahwa mbludagnya peminat PNS itu sendiri seharusnya bisa menjadi pemicu agar mereka yg sudah ‘ada di dalam’ lebih bersyukur. Lebih bersungguh-sungguh dalam tugas dan kewajibannya, adalah salah satu wujud rasa syukur itu… Bukankah begitu ?! 🙂
September 12, 2012 at 18:09
Orangtua memang jangan memaksa kehendaknya karena bisa membuat anak stress lho.
Bagi saya ya enak jadi PNS karena dirumat sampai mati ha ha ha ha
Kayak saya gini, ngeblog saja masih dapat tunjanngan pensiun.
Alhamdulillah
Mbok saya diajari mbuat cerpen tho jeng
Salam hangat dari Surabaya
begitulah Dhe…meskipun sak petarangan tapi tetep boleh punya pendapat masing2 kan.. apalagi orang2 yg berbeda ya… saling menghormati sajalah… Ngajari Pakdhe ?…ntar kualat saya… apalagi saya juga masih ‘pupuk bawang’ gini, hehe… Belajar bareng2 saja yuk Dhe.. 🙂
September 12, 2012 at 18:29
Ups, jadi inget zaman baheula disuruh2 mamah ikutan CPNS hihihihi
dan sekarang pasti si mamah sudah ayem melihatmu sukses tanpa harus jadi PNS ya Rin… Nah Pakdhe, ini dia yg bisa ngajarin kita mbuat cerpen, hehe…
September 12, 2012 at 20:30
iya..aku ingat cerpen ini…
masih saja menggigit lho…
aih…mbak Monda paling bisa ngayem-ayemi… Trims mbak 🙂
September 12, 2012 at 21:10
bbrp tahun yg lalu aku sempet ikut tes cpns jg mb…alhamdulillah gagal 😀
Ketentuan-NYA pastilah yg terbaik buat kita ya… kapan2 pengen baca ceritanya juga ah… Trims sdh mampir, mbak Enny.. 🙂
September 12, 2012 at 22:52
Apapaun pekerjaanya itu adalah sebuah amanah. Negeri atau pun Swasta tergantung dedikasi individunya aja menurut saya. Jadi PNS tapi cuma ambil duite dan emoh dengan pengabdiane dengan masyarakat yo sama saja makan gaji buta.. Semoga saja kita bisa menjadikan setiap pekerjaan kita apapun itu sebagai sebuah bentuk ibadah dan bermanfaat bagi sesama.. aamiin
selamat deh buat yang mungkin nyantol jadi PNS. Buat yang gagal, jangan bersedih hati, sebab bukankah rejeki bisa dicari di man-mana?
Naaah…ini dia pemikiran yg jitu! Bravo, Lozz 🙂
September 12, 2012 at 22:53
wuih komenku kok ndowo yo hahaha.
eh ganti lagi deh cat rumahnya mbak Mechta ya… Font artikelnya kurag gede dikit atuh mbak.. sayang deh artikelnya ciamik loh padahal
Eh ini kan rumah baru…jadi catnya msh cling dong…hehe… dan krn msh jd pemula byanget di wp makanya blom bisa ganti2 font… ajarin dooong 🙂
September 13, 2012 at 03:44
Bersyukur akhirnya mindset orang tua Widi berubah…
Mengenai minat utk jadi pegawai negeri tetap membludak itu adalah jawaban dari banyak hal saya kira Mb Mechta. utamanya pendidikan, wawasan dan lingkungan 🙂
mungkin juga begitu mbak Evi.. yg jelas, apapun hasil akhirnya patut diterima dg penuh syukur sbg pilihan dari-NYA… begitu, kan mbak? 🙂
September 13, 2012 at 08:09
iya ya keinginan utk jadi pegawai negeri masih sangat mbludag..
mungkin karena merasa lebih terjamin hingga masa pensiun datang .
padahal tak kalah hebatnya utk berwiraswata yg syukur2 malah bisa membuka lapangan pekerjaan baru bagi orang lain.
dan pastinya tidak mudah juga utk merintisnya ya Mechta 🙂
salam
utk berwiraswasta memang perlu keberanian & ketekunan tersendiri ya Bun…mungkin itu yg menjadikan tak semua org mampu melakukannya dan memilih jalur aman..*saya salah satunya, hehe..* salam Bunda…
September 13, 2012 at 09:18
Eksotik Jeng Lalang Ungu, kesungguhan karya Widi meyakinkan hati Ayahandanya ya. Jeng Mechta pandainya membuat cerpen/fiksi, saya penikmatnya …. Salam
waduuh Bu…jangan di pangku doong… tiyang jawi menawi di pangku kan pejah.. hehe… masih jauuuh dari sempurna bu… maturnuwun kerso mampir ngriki, Bu Prih… 🙂