Tak perlu waktu lama, Rino akhirnya sampai di rumah bergaya Jawa kuno yang cukup besar. Halamannya luas dengan beberapa pohon beringin. Tampaknya rumah ini adalah rumah turun-temurun.
Tok, tok! Rino mengetuk pintu.
Tak lama pintu dibuka. Rino terkejut melihat sosok yang berada di hadapannya.
***
Rino bergegas berbalik, namun tangan halus itu kuat memegangi lengannya..
“Aku sudah lama menunggumu di sini. Rumah nenek yg penuh kenangan ini, pasti menjadi tujuan akhir pelarianmu…”
Rino tetap diam, namun diapun mengurungkan niatnya untuk lari.
“Rino… masuklah, ada banyak hal yang ingin kujelaskan…”
“Tak ada lagi yang ingin kudengar. Kau telah memilihnya, maka tak perlu ada aku lagi di hidupmu!”
“Kenapa tidak?”
“Karena aku tak mau menjadi benalu dalam hidup kalian!”
“Benalu? Dalam 15 tahun kebersamaan kita, kau adalah yang terpenting bagiku! Kau, satu-satunya! Siapa yg berani mengatakan kau adalah benalu dalam hidupku?” suara penuh emosi wanita itu menyentak hati Rino.
Perlahan ditatapnya wajah cantik yang sangat dicintainya itu…, ada yg tercekat di hatinya menyaksikan bulir-bulir air mata membasahi pipi pucat nan tirus itu….
Baru kemarin aku meninggalkanmu namun rasanya sudah sangat lama waktu berlalu, bisik hatinya. Ada luka di mata indah itu, aku kah yang menorehkannya, ibu?
“Nak… jangan pernah meragukan cinta ibu. Tadinya aku memang sedang mempertimbangkan pinangannya, namun bila itu menyakiti hatimu, membuatmu pergi dari hidupku, maka untuk apa kuterima? Kau hanya perlu mengatakan ketaksetujuanmu, tidak harus pergi tanpa pamit seperti ini…”
Rino masih terdiam, diingatnya rasa takut yang membuatnya nekad kabur kemarin. Kabar bahwa ibu akan segera menikah dengan Oom Randi!
“Kenapa kau membencinya, Rino?”
“Aku tak pernah membencinya..” jawab Rino lirih, “…tapi aku takut bernasib seperti Rudi..”
Perlahan wanita cantik itu mendekati Rino lalu memeluknya erat. Air mata tertumpah membasahi rambut lelaki kecil kesayangannya. Ia tahu kisah hidup Rudi -teman Rino- yang kurang beruntung mendapatkan ayah tiri yang cengkiling . Tapi ia cukup mengenal Randi – sahabat lama almarhum suaminya- yang ia yakin tak akan bertabiat seperti itu.
“Aku tak berani menjanjikan yang muluk-muluk, Nak… Namun aku ingin kamu mau mengenalnya lebih dekat. Jika pada akhirnya nanti apa yang kau putuskan tetap sama, maka aku tetap akan menghormati keputusanmu itu…”
Mereka berpelukan lama, tak menyadari sepasang mata tua yang basah menatap dari dalam rumah tua itu. Namun, ada senyum di bibir keriput Mbah Citro, menyaksikan cucu dan menantu kesayangannya kembali berdamai…
***
Notes : 385 kata. Cengkiling (Bhs Jawa = ringan tangan / suka memukul )
30 Comments
Leave a reply →