Dieng Plateau atau dataran tinggi Dieng yang masuk dalam wilayah Kab Banjarnegara & Wonosobo, memang tempat yang tak akan mboseni untuk didatangi. Meski telah beberapa kali ke sana, dan terakhir di akhir 2012 lalu, tetap saja aku bersemangat ketika ‘gank ngluyur’ ngajak jalan-jalan ke Dieng lagi.
Kalau pada perjalanan sebelumnya bersama keluarga kami lebih lama menghabiskan waktu di kompleks Candi, jalan-jalan di hutan sekitar telaga warna dan di Kawah Sikidang, maka kunjungan tanggal 29 mei 2014 kemarin bersama teman-teman hanya di seputar Candi, berlama-lama di Museum Kailasa dan di seputar Telaga Warna, tentunya.. 🙂
Cuaca Dieng pagi menjelang siang itu cukup cerah, pengunjung sudah mulai banyak meskipun tak sampai berdesak-desakan… Dan, pengunjung pun asyik berfoto-foto ria di sekitar artefak di Komplek Candi Arjuna itu.
Tak ketinggalan berpose dengan Mas Hanoman, Cakil dan teman-temannya… Jadi ingat 2 tahun lalu juga berfoto ria bersama mereka & para krucilku.. Ini perbandingan 2 pose itu, hehe..
Puas berjalan-jalan & berpose-pose di Komplek Candi Arjuna maka kami pun menuju salah satu museum yang ada di sana, yaitu Museum Kailasa. Tiket masuk cukup murah, hanya Rp. 5.000,- saja / orang.
Ruang museum terdiri dari 2 lokasi, salah satu diantaranya hanya merupakan semacam aula dengan benda-benda purbakala yang ditata sederhana sepanjang dinding & di tengah aula. Rupanya itu tempat menyimpan benda-beda hiasan candi yang asli, agar tak raib dicuri orang bila diletakkan di tempat seharusnya yaitu candi-candi di luar sana. Sayang banyak sekali yang sudah tak utuh lagi bentuknya… Ih, sebel dengan para pemilik tangan-tangan nggrathil 🙁
Ruang museum yang satu lagi lebih tertata dengan apik. Rupanya ini ruang utama museum yang diresmikan oleh Ir. Jero Wacik (MenBudPar kala itu) tahun 2008. Ada satu pesan khusus dari beliau yang ada di dinding depan Museum ini.
Di dalam museum yang tak terlalu luas ini, tak hanya tersimpan arca-arca atau artefak warisan arkeologi lainnya, namun juga informasi-informasi tentang Dieng : masyarakatnya, budayanya, flora & faunanya, dan lain-lain. Menurutku, sebaiknya berkunjung dulu ke museum ini sebelum berkeliling di situs-situs yang ada di Dieng 🙂
Sebagai penutup acara jalan-jalan kami ke Dieng siang itu, tentu saja menuju ikon wisata Dieng yang sudah terkenal itu : Telaga Warna.
Siang sudah semakin terik, namun para pengunjung kian banyak. Mungkin karena angin yang dingin-dingin sejuk membuat sinar mentari tak terasa terlalu panas di kulit, bahkan kehangatan hasil kolaborasi sinar matahari & angin sejuk ini justru membuat pengunjung betah berjalan-jalan di seputar telaga yang siang itu tampak makin cantik dengan gradasi warna pada permukaan airnya.
Puas berjalan-jalan di sana -ditandai dengan betis yang terasa kencang & telapak kaki yang mulai sakit.. hihi.. – maka kami pun memutuskan mengakhiri jalan-jalan kami ke Dieng pada hari itu. Dalam perjalanan pulang, tak lupa mampir ke kios oleh-oleh yang banyak tersebar di pinggir jalan, dan Kacang Dieng, Keripik Jamur serta -tentu saja- olahan Carica segera berpindah dari etalase ke bagasi mobil.. hehe..
Ke dieng lagi? hayuuu… belum pernah menjadi saksi srengenge mlethek di Bukit Sikunir, je… Mudah-mudahan di lain kesempatan.. Kapan-kapan, pergi bareng-bareng yuuuuk… 🙂
11 Comments
Leave a reply →