LALANG UNGU

Ruang berbagi pengalaman dan manfaat

Terima Kasih, Guru-guru Kehidupanku

| 13 Comments

Lalang Ungu. GURU dalam bahasa Jawa seringkali diartikan sebagai kependekan dari kalimat : DIGUGU lan DITIRU. Artinya seorang guru adalah orang yang bisa digugu (dijadikan panutan) dan ditiru (dijadikan contoh / teladan).

Nah, tentunya dalam hidup kita ada sosok-sosok yang kita jadikan panutan dan teladan dalam menjalani hidup keseharian kita, mungkin bahkan ada banyak sosok-sosok yang menginspirasi selama hidup kita ini.

Demikian pula halnya dalam hidupku. Yang kusebut guru dalam hidupku bukan hanya guru formal yang telah membimbingku sejak Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi, namun ada banyak sosok guru informal bagiku.

Orang-orang istimewa itu ada dalam lingkup keseharianku, kukenal sejak masa kecil hingga masa dewasaku kini. Mungkin tak semua dari mereka secara langsung memberikan pelajaran bagiku, namun nilai-nilai yang mereka anut, pilihan hidup yang mereka jalani, secara langsung maupun tak langsung telah mempengaruhi bahkan bisa dikatakan turut membentuk adanya AKU sekarang ini.

Bapak dan Ibu.  Tentu merekalah guru pertama dan yang paling berperan membentukku. Kedisplinan, Tanggung jawab dan Kejujuran adalah 3 pelajaran penting yang kupetik dari alm Bapak. Tiga hal yang tidak hanya disampaikan secara lesan pada kami untuk diterapkan dalam keseharian kami, namun juga dicontohkannya dalam keseharian hidup beliau.

Lebih baik datang sesuai waktu namun harus menunggu daripada datang terlambat dan membuat orang lain menunggu. Itu salah satu prinsip beliau yang pada akhirnya kami adopsi karena telah terbiasa sejak kecil.

Dari Ibu, aku belajar tentang tekad untuk maju. Di masa remajanya, ibu menerima kondisinya sebagai anak dengan keterbatasan materi, namun tidak mengurungkan tekadnya untuk menuntut ilmu, meski harus jauh dari keluarga dan mendapat cibiran karena dianggap telat menikah. Dalam tanggung jawabnya sebagai pengelola keuangan keluarga, beliau tak hanya pasrah menerima saja namun juga berperan aktif.  Jerih payah beliau sebagai istri, ibu 5 anak dan sekaligus wanita pekerja sangatlah membekas dalam hidup kami. Dialah wonder woman pertama yang kukenal dan memberi contoh nyata pada kami tentang arti kata Pantang Menyerah.

Nenek juga adalah guru informal ku karena sejak kami bayi hingga menjelang dewasa beliau selalu ada bersama kami. Beliaulah pendamping kami saat orang tua kami bekerja, beliau tidak hanya menjaga kami secara fisik namun juga mengasuh kami dengan mengajarkan nilai-nilai hidup meski dalam kesederhanaan bahasa beliau. Nrimo ing pandum atau menerima apa yang telah diberikan-NYA dalam hidup kita adalah salah satu pelajaran penting dari beliau yang akan terus mengakar dalam hati kami.

Kalau nenek bisa dikatakan sebagai guru hidup kami secara langsung, maka berbeda dengan Kakek.  Mbah Kakung ini memang tidak kami kenal secara langsung karena beliau sudah wafat sejak ibu kami kecil, namun pelajaran tentang ketangguhan hidup kami dapatkan kemudian, melalui buku harian yang beliau tulis tangan sendiri dalam sebuah buku tulis biasa namun merupakan warisan luar biasa bagi kami cucu-cucu dan cicit-cicitnya ini.

Guruku yang lain yang adalah bagian dari keluargaku adalah almh kakak sulung kami. Sejak kecil, posisinya sebagai anak pertama membuatnya mau tak mau harus menjadi role model bagi adik-adiknya. Seperti nenek dan ibu kami, kakakku juga wanita kuat. Teguh dalam meraih cita-citanya menjadi dokter walaupun cukup banyak tantangan, dan ketika berhasil meraih cita-citanya itu maka dia benar-benar berdedikasi dalam menjalankan profesinya, sekaligus tetap menjadi istri dan ibu yang baik dalam keluarga kecilnya. Saat Tuhan memanggilnya beberapa tahun lalu, bukan cuma kami sekeluarga yang kehilangan, rekan sejawat dan bahkan pasien-pasiennya memberikan kesaksian atas dedikasi beliau selama hidupnya.

Sebenarnya, guru-guru informalku tak hanya dari keluargaku. Ada pula orang-orang lain di sekitarku yang menjadi sumber inspirasi hidupku. Misalnya Mak  Mun tukang pijat langganan kami. Berawal dari kebisaannya memijat secara otodidak, dia mau belajar untuk menjadi lebih profesional dengan mengikuti kursus dukun bayi di Puskesmas setempat kemudian rutin mengikuti pertemuan / pembinaan yang diadakan di sana meski dengan keterbatasannya baca-tulis. Dia mau belajar karena dia ingin merubah nasibnya, ingin lebih mensejahterakan keluarganya dan lebih bermanfaat bagi orang lain. Sungguh suatu sikap yang patut diteladani, bukan?

Sahabat-sahabatku adalah juga guru-guru bagiku.  Masing-masing mempunyai andil dan menginspirasi dalam hal-hal yang berbeda. Sungguh suatu karunia bagiku mendapatkan sahabat-sahabat seperti mereka, baik sahabat masa kecil, sahabat saat menuntut ilmu, sahabat di masa kerja, bahkan sahabat-sahabat yang berinteraksi di dunia maya. Alhamdulillah…

Demikianlah teman, sungguh besar rasa terima kasihku pada para guru-guruku, baik guru-guru formal maupun informal.  Semoga Allah SWT membalas semua jasa mereka dengan balasan terbaik dari-NYA, serta senantiasa memberkahi dan melindungi mereka dalam menjalankan pengabdian mereka masing-masing. Aamiin…

Oya, post ini adalah ditulis dalam rangka memperingati Hari Guru -25 Nopember sekaligus memenuhi tema arisan blog Gandjel Rel yang diusulkan oleh 2 blogger keren anggotanya yaitu mba Relita dan mba Yuli Arinta.

Bagaimana denganmu, teman..adakah pengalamanmu dengan guru-guru informalmu? Silakan bagi di kolom komen yaa… Terima kasih…

13 Comments

Leave a Reply to Mechta Cancel reply

Required fields are marked *.