Lalang Ungu. Suara gamelan Jawa yang cukup rampak menyambut kedatangan rombongan kami di Desa Gumelem Wetan Kec Susukan Kab Banjarnegara siang itu. Oya, setelah kunjungan kami ke Sentra Keramik Klampok, maka Desa Gumelem adalah tujuan kunjungan Famtrip selanjutnya.
Baca juga : Famtrip Banjarnegara (2)
Ternyata saat kedatangan kami, di halaman Balai Desa Gumelem yang terlihat semarak siang itu sedang dipentaskan sebuah tarian Kuda Lumping oleh para remaja putera, setelah itu juga tari-tarian oleh gadis-gadis kecil di atas panggung. Meriah sekali 😀 Rupanya sedang ada acara peringatan ulang tahun Desa Gumelem, yang juga dihadiri oleh perwakilan dari Kasunanan Surakarta. Setelah mendengarkan sambutan dari Kades, kami pun langsung menuju pinggir arena tempat ibu-ibu memajang aneka macam kain batik.
Lho…ada batik di Banjarnegara??
Eh, jangan salah yaa… Sebagaimana daerah-daerah Jawa lainnya, seni budaya batik sudah lama mengakar di Banjarnegara, khususnya di Desa Gumelem yang menjadi sentra batik Banjarnegara. Dukuh Dagaran dan Karangpace di Gumelem Wetan, Dukuh Ketandan, Beji dan Kauman di Gumelem Kulon adalah merupakan sentra-sentra batik Gumelem, desa yang berbatasan dengan Banyumas ini.
Seperti apa sih batik Gumelem itu? Apakah kekhasannya karena dibuat dengan proses yang berbeda dari batik di daerah lain, atau khas dalam motif-motifnya?
Ya, proses pembuatan batik di Gumelem tentu saja sama dengan proses pembuatan batik di daerah lain, yang meliputi proses menggambar pola di atas selembar kain, penggunaan malam sebagai perintang warna dan proses-proses selanjutnya hingga selembar batik tulis ataupun batik cap siap untuk dipasarkan.
Lalu apa yang membedakannya dengan batik daerah lain?
Motifnya.
Ya, batik Gumelem klasik mempunyai motif-motif khas yang diambil dari kekayaan alam dan budaya lokal, dengan warna-warna yang cenderung gelap. Jenis-jenis motif klasik itu antara lain : Gadjah Uling, Sungai Serayu, Jahe serimpang, Godhong Lumbu, Pring Sedhapur, Udan Liris, Sidomukti, Sidoluhur, Sekar Jagad, Kopi Wutah, dll.
Motif-motif klasik ini tidak meninggalkan corak batik khas Kraton Kasunanan Surakarta karena bila ditelusur sejarahnya, maka cikal bakal seni batik di daerah ini dimulai saat jaman perang Diponegoro, saat Pangeran Puger mengungsi ke Banyumas, dengan diikuti oleh para punggawa beserta budhayawan, di antaranya adalah para seniman batik sehingga mulai berkembanglah seni batik di daerah baru ini. Demikian informasi yang kudapat dari web batikgumelem.com.
Dalam perkembangannya, selain motif-motif klasik, batik Gumelem juga dibuat dalam motif-motif kontemporer, yang lebih bervariatif dalam corak maupun pewarnaannya. Mulai digunakan warna-warni yang lebih berani dengan corak yang relatif lebih besar-besar dan dikenakan hanya pada satu sisi kain, disesuaikan dengan permintaan pasar. Motif kontemporer umumnya dikerjakan oleh para pengrajin muda, dengan beberapa jenis motif a.l : Sawung Alit, Lumbu Pari, Kawung Ceplokan, Kanthil Rinonce, Sekar Tirta, Pilih Tanding, Salak Raja, Sekar Kinasih dll. Batik tulis kontemporer ini sangat cocok dikenakan di berbagai kesempatan termasuk kegiatan yang tidak resmi, dan harganya pun sangat terjangkau. 😀
Selain ke Balai Desa Gumelem, siang itu kami juga berkunjung ke SMP N 2 Susukan, di mana para siswanya juga mempelajari Seni Batik sebagai muatan lokal di sekolah ini. Memasukkan batik sebagai pelajaran dalam muatan lokal merupakan salah satu upaya pemerintah setempat untuk tetap melestarikan seni batik melalui pengenalan sejak dini pada generasi mudanya. Patut diacungi jempol, bukan?
Menyaksikan keasyikan siswa-siswi SMP N 2 Susukan yang sedang membatik rupanya membuat beberapa teman blogger tertarik untuk mencoba. Bagaimana rasanya membatik? Asyiik dan menyenangkan, begitu kesaksian mba Nunik, salah satu rekan blogger yang mencoba membatik siang itu…
Dari Desa Gumelem, rombongan kami menuju Desa Pagak Kecamatan Purworejo Klampok. Lhah, ke Klampok lagi? Melihat keramik lagi?
Haha…bukaaan… Tepatnya di Desa Pagak siang itu, kami menikmati kekayaan budaya Banjarnegara lainnya yaitu di bidang Kuliner dan Seni Musik.
Memang telah sedikit lewat dari waktu makan siang ketika kami sampai di Desa Pagak. Oleh karena itu, setelah menunaikan ibadah di masjid desa setempat kami pun bergegas menuju Balai Desa untuk menikmati hidangan makan siang yang sudah disediakan. Mau tahu menunya?
Soto, itulah menu makan siang yang telah disiapkan untuk kami santap dengan penuh rasa nikmat. Bukan soto sembarang soto lho, teman…
Soto yang kami santap siang itu menggunakan bumbu kacang sebagai pelengkapnya. Luget dan gurih, lengkap dengan potongan-potongan ketupat dan kerupuk warna-warni di dalam mangkuk tersebut.
Oya ketupatnya istimewa juga lho.. Kupat Landan namanya. Penampilannya tidak putih bersih seperti ketupat biasanya, namun terlihat warna gelap di bagian tepi dan rasanya juga lebih gurih. Apa rahasianya? Dari informasi teman-teman peserta famtrip yang berasal dari Banjarnegara kami mendapat penjelasan bahwa ketupat ini berbeda karena direbus dengan air yang dicampur abu pelepah daun kelapa. Hm..pantas rasanya berbeda dengan ketupat biasanya.. Uenaaak…
Setelah menyantap semangkuk Soto dan mendinginkan tenggorokan dengan (lebih dari segelas) es teh, maka akupun bergegas mengikuti teman-teman lain menuju Pendopo yang berjarak beberapa rumah dari Balai Desa itu.
Di dalam pendopo telah siap beberapa orang bapak dan ibu yang bersila ataupun bersimpuh, masing-masing menghadap sebuah alat dari bambu.
Salah seorang bapak yang tampaknya merupakan pemimpinnya kemudian memberikan penjelasan kepada kami bahwa mereka akan memainkan GUMBENG.
Apa itu Gumbeng?
Gumbeng adalah nama alat musik tradisional yang terbuat dari bambu. Konon, awal pembuatan Gumbeng adalah kebutuhan para petani yang ingin hiburan merayakan hasil panen mereka, sekaligus sebagai persembahan rasa syukur kepada Dewi Sri yang dipercayai memberikan kelimpahan panen padi mereka. Kemudian berbekal ketersediaan bambu yang banyak di sekitar mereka, akhirnya para petani itupun berkreasi menciptakan suatu alat yang dapat menghasilkan bunyi-bunyian untuk mengiringi kidungan mereka.
Memainkan Gumbeng kemudian menjadi tradisi para petani setempat pada ‘pesta’ panen padi, juga dalam ritual-ritual budaya lainnya misalnya sebagai tolak balak / penolak malapetaka antara lain melalui tembang Dandang Gula .
Sempat ‘menghilang’ berpuluh tahun, baru akhir-akhir ini kesenian Gumbeng dihidupkan kembali dan diperkenalkan lagi ke masyarakat. Dalam suatu kelompok penampilan Gumbeng, diperlukan minimal 12 orang pemain, yaitu 4 orang memainkan alat musik Gumbeng, 2 orang memainkan Dendem, 2 orang menabuh Gong dan melodi, 2 orang memainkan kecruk dan 2 orang lagi memainkan keprak. Disamping itu dibutuhkan pula 1-2 orang sinden untuk melantunkan kidung / macapat.
Sore semakin terasa syahdu ketika kami mendengarkan alunan musik Gumbeng yang dimainkan oleh kelompok dari Desa Pagak tersebut, terutama saat Sang Sinden melantunkan tembang Dandang gula . Ingin rasanya terus duduk-duduk di sana menikmati teh hangat dan nyamikan yang tersedia sambil mendengarkan alunan Gumbeng dan suara merdu Sinden.
Sayangnya, waktu membatasi kebersamaan kami sore itu. Kami harus meninggalkan Desa Pagak untuk meneruskan perjalanan menuju ke Dieng, tujuan selanjutnya dari Famtrip Blogger dan Media yang diselenggarakan oleh Dinas Pariwisata Kab Banjarnegara itu.
Untuk sementara kami harus mengucapkan selamat tinggal kepada warga Desa Pagak yang ramah-ramah, terima kasih Bapak-Ibu semuanya, atas kesempatan indah yang kami nikmati di sepenggal hari itu… Semoga di lain kesempatan kami dapat kembali lagi, mengeksplor keindahan lain dari Desa Gumelem dan Pagak di Banjarnegara. Aamiin…
Nah, itulah kisah jalan-jalanku menikmati keindahan budaya di Desa Gumelem dan Pagak, Oya teman-teman sudah pernah ke sini juga? Yuuk, share pengalamannya di kolom komen yaa…
17 Comments
Leave a reply →