Apa hubungannya kerupuk & sop ? Teman makanan yang pas ? Ya, mungkin bagi beberapa orang begitu… Namun sebenarnya kali ini aku hanya akan menulis tentang suatu jenis kerupuk & sop yang baru kucicipi beberapa waktu lalu.
Terus terang, aku teringat untuk menulis tentang kerupuk ini ketika membaca tulisan dari teman kita, yang ini.
Ya, aku setuju bahwa ada buanyaak jenis kerupuk yang ada di sekitar kita dan sebagai salah satu penikmat kerupuk, rata-rata aku suka macam-macam kerupuk itu, asal…. tidak pedas! *harga mati untuk kriteria yang satu itu, hehe..*
Dan diantara kerupuk kesenanganku, adalah kerupuk gendar / karag , serta kerupuk kedele. Kebetulan keduanya adalah kerupuk yang banyak ditemui di kotanya Bu Prih: Salatiga. Jangan heran, meskipun sudah bertahun-tahun meninggalkan kota kelahiranku itu, masih banyak rasa kuliner Salatiga yg nyantol di lidahku 🙂
Sayangnya, akhir-akhir ini agak sangsi makan kerupuk gendar, karena pembuatannya memerlukan bleng sebagai salah satu bahannya, sementara aku baru ngeh kalau yang dinamakan bleng itu sendiri adalah borax yg berbahaya itu… Waduuh… 🙁
Oya, baru-baru ini kutemui jenis kerupuk yang lain lagi, yaitu yang penampakannya seperti ini :
Namanya Kerupuk Antor, banyak ditemui di daerah tegal dan sekitarnya. Kerupuk berukuran kecil-kecil itu sebenarnya berwarna putih, namun ‘dibalut’ bumbu kecoklatan sehingga penampilannya terlihat lethek atau kotor. Rasanya? Untuk yang pertama kali mengkonsumsi mungkin agak aneh karena bumbunya menimbulkan rasa agak getir /pahit, namun setelah terbiasa merasakannya dapat juga merasakan rasa gurihnya kerupuk ini… Oya, karena biasanya kerupuk ini tidak digoreng menggunakan minyak namun menggunakan pasir panas, maka ada pula yang menyebutnya krupuk kere 😉
Nah.. itu sekilas tentang kerupuk Antor…. sudah pernah mencoba?
Yang berikutnya aku ingin bercerita tentang pengalamanku dengan sop ayam, khususnya sop ayam klaten.
Sebenarnya sudah agak lama aku penasaran dengan jenis masakan satu ini, yang kudengar benar-benar khas dan banyak penggemarnya. Sampai suatu ketika seorang teman mengajakku mencicipinya, di warung sop ayam klaten yang baru dibuka di kota kami.
Saat memilih menu sebenarnya aku sudah kurang sreg. Diantara bagian-bagian ayam, yang kusukai adalah paha, maka itulah yg kucari waktu itu. Sayangnya, persediaan yang ada saat itu tinggal dada, leher dan sayap. Yo wis, aku milih sop dada saja sebagai alternatif.
Saat melihat penampilan sop dada ayam yang akhirnya terhidang di depanku, aku langsung kurang suka. Ayamnya di potong cukup besar, dengan kuah yang dari baunya sudah tercium aroma merica, dan… tak ada sayuran apapun di mangkok itu!
Oo… jadi begini to..penampilan sop ayam itu? Lalu rasanya?… Suapan pertama membuktikan kecurigaanku akan banyaknya bumbu merica yang dipakai, yang langsung mematikan seleraku. Semangkuk kecil nasi yang menyertai sop itu tak cukup menetralkan rasa pedas yg terlanjur menguasai lidahku (ah, emmang payah ya..aku ini.. 🙁 ) Namun, karena sudah dipesan dan tak enak dengan teman yang mentraktirku, maka aku tetap berusaha menghabiskan ayam itu, tanpa kuahnya tentu saja..
Jadi itulah akhir rasa penasaranku dengan salah satu jenis kuliner klaten yang terkenal itu… ( Untuk kuliner klaten, buatku masih tetap ayam panggang yg paling nyam-nyam… ) Untuk sop, ternyata aku lebih bisa menikmati sop ayam buatan mbak Saroh di kantin kantorku, karena meskipun potongan ayamnya kecil2, namun ada wortel, kentang dan sawi hijau yang melengkapinya.
Atau juga sayur sop rumahan dengan variasi jamur / sosis untuk menggantikan daging ayam / sapi, namun selalu ada sayuran sebagai pelengkapnya : wortel, buncis, dll, seperti yg biasa kami masak sehari-hari :
Oya, ada satu kebiasaanku (yang kata teman2 agak aneh) menyangkut kerupuk dan sop (atau masakan berkuah lainnya). Setelah menghabiskan isi sayur yang ada di mangkok hingga hanya tersisa kuahnya saja, maka akan kumasukkan kerupuk kedalamnya! Setelah beberapa saat kerupuk menjadi lunak, baru kusantap dengan kuahnya… Hm… uenakk…, berniat nyoba? 😉
7 Comments
Leave a reply →