Minggu pagi, di rumah kakakku.
Alhamdulillah, demamku sudah agak turun, namun dinginnya pagi itu membuatku kembali berselimut setelah menyelesaikan kewajiban pagi, sedangkan burung-burung sudah asyik membangunkan mentari dengan kicauannya..
Yangti sudah sibuk klithak klithik di dapur sementara mbakku sibuk membangunkan kedua jagoannya, yang rupanya masih sangat betah ngruntel di balik selimut.
Acara heboh membangunkan mereka mulai menampakkan hasil dengan nguletnya Si Sulung, lalu terkantuk-kantuk menuju kamar mandi mengambil air wudhu, sementara Si Ragil masih saja tak bergeming. Ketika mamanya sudah hampir di batas kesabarannya, tiba-tiba saja si bungsu itu njenggirat terbangun.
“Mah, jam berapa?” tanyanya sambil kucek-kucek mata.
“Hampir jam 6, De’.. Makanya, ayo ndang sholat…” jawab Sang Ibu.
“Ooh… untunglaah… tak kira sudah telaat…” jawab Ragil, “aku mau bangun jam 7 terus langsung makan ya Mah…” katanya kemudian sambil kembali mlungker. Tepatnya, berusaha untuk itu, yang gagal total karena sudah dicegah mamanya, yg segera saja menggandengnya ke kamar mandi.
Ketika dia sedang mengerjakan kewajibannya, aku bertanya pada mbakku itu, tumben amat minggu pagi dia sudah semangat begitu, ada apa? Ternyata hari itu Ragil dan teman-temannya -serombongan anak-anak kelas 6 SD itu- berencana bersepeda bersama. Dan rupanya itu acara pertama Ragil pergi sendiri dengan teman-temannya, tanpa kawalan ayah / ibu / kakaknya.
Ooh… pantas saja dia begitu semangat. Tadinya Si Eyang yang kurang setuju, mamanya juga agak keberatan, tapi ayah & kakaknya mendukung, akhirnya si bungsu itupun diizinkan menjalani ‘petualangan’ pertamanya.
Sayangnya, entah kenapa dia tak mau terus terang rute mana saja yang akan mereka lewati dengan bersepeda itu. Pokoke amanlaah… di dekat-dekat situ kok, itu selalu jawabnya bila ditanya… Apa ia khawatir akan disusul / diikuti ayah atau kakaknya ( demi ketentraman hati ibu & neneknya ya?) hihi…
Maka pagi itu pun ia berangkat dengan ransel di punggung dan semangat di dada… (ahay…) dan restu dari semuanya… 😀
Tapi…, rasa khawatir mulai membayang di rumah kakak ketika waktu beranjak siang, hujan turun dengan lebat dan tak dapat dipantau Ragil ada di mana.
Yangti sudah mondar-mandir, dan berkali-kali menyuruh mbakku untuk menghubungi. Beberapa kali sms ataupun telepon tak dibalas, hingga membuat sang ibupun agak khawatir juga… namun ketika sampai jam keberangkatan tugasnya siang itu belum ada kabar juga, ia pun memasrahkan keselamatan anaknya pada Allah semata dan berangkat tugas meski masih ada sedikit rasa was-was.
Tepat setelah adzan ashar berkumandang, masuklah dengan berlenggang Si Ragil yang siang itu sedang menjadi lakon. Memakai kaus pinjaman, sepatunya basah, tapi sorot bangga berbinar dari matanya.
“Alhamdulillah…., pulang juga… Sampai mana saja, to De’ kok sampai sore begini….” begitu sambutan si Eyang dengan leganya. Maka ia pun bercerita tentang ‘petualangan’nya, bersepeda ber-7 dari pagi hingga siang itu, start dari rumah temannya di dekat rumah kami dan finish di rumah teman yang satu lagi, beberapa kilometer dari rumah kami.
Asyik sekali ia bercerita, tampak tersirat rasa bangga bahwa ia berani pergi sendiri. Ia sudah bukan anak kecil yang harus ditemani kemana-mana lagi… Ia sudah besar (meskipun badannya tak sebesar anak-anak sekelasnya, sehingga terlihat ringkih ) 🙂
“De’… apa HPnya mati? kok dihubungi mamah dari tadi gak dijawab?” tanya ayahnya.
Iya cuma menggeleng, “Enggaklah…”
Entah apa maksudnya. Apa itu sebuah upaya pembuktian darinya bahwa ia sudah bukan anak mami lagi? hehe…
Sementara mereka sedang sibuk nanggap cerita dari Sang Petualang baru itu, sambil berbaring di kamar kukirim pesan singkat ke kakakku bahwa jagoannya sudah pulang dengan selamat tak kurang suatu apapun. Kuulangi cerita Ragil -dengan versi singkat tentunya- agar kakakku tak gelisah di tempat tugasnya. Dan setelah berbalas pesan, ada 1 sms kakakku yang membuatku tertawa sendiri :
“Te’, ingat nggak dengan kejadian nyaris serupa bertahun-tahun lalu… tentang anak klas 6 SD yang nekat pergi ke Senjoyo meski sudah dilarang ayahnya?”
Haha…. memang itu kisah nyata dalam keluarga kami. Sekian puluh tahun lalu, ada anak kelas 6 SD yang tidak diizinkan ayahnya ikut piknik ke Umbul Senjoyo. Namun keinginan anak itu begitu kuat hingga ia nekat pergi tanpa bekal, & berjalan kaki dari Margosari hingga Umbul Senjoyo (karena tak berani meminta bekal & membawa sepeda) hanya agar bisa bersama-sama teman sekelasnya menikmati salah satu tempat indah di Salatiga kala itu.
Aku ingat, ketika ia pulang, ada binar bahagia di matanya dan dengan tegar diterimanya kemarahan orang-tuanya. Kepada adik-adiknya ia berkata meskipun ia tidak menyesal nekad pergi tapi itu hal yang salah, adik-adiknya tidak boleh menirunya. Ya, anak nekad itu adalah kakak sulung kami – ibu Si Ragil ini ! haha…
Rupanya, hari minggu kemarin, aku sedang menyaksikan pengulangan sejarah dalam keluarga kami! 🙂
Dan ketika beberapa waktu kemudian Si Ragil berbaring di sampingku, sempat kubisikkan padanya untuk menelpon / mengirim pesan pada mamanya, mengabarkan kepulangannya & minta maaf karena telah membuat mamanya khawatir. Ia mengangguk dan sebelum kemudian tenggelam dalam keasyikannya di depan komputer, sempat kulihat ia sibuk dengan HPnya.
Ini dia, Ragil-nya kakak sulungku….
5 Comments
Leave a reply →