Aku bersama Nadia. Sementara ayah dan ibu berada tak jauh dari kami. Tetapi kami tak melihat keduanya. Kami hanya mendengar suara-suara mereka saling berteriak. Lalu suara itu menghilang. Tak terdengar lagi.
“Bagaimana menurutmu, Dan?” tanya Nadia pelan.
“Apanya?” tanyaku tak mengerti.
“Perpisahan. Tampaknya hal itu tak terelakkan lagi,” bisiknya parau.
Ya, aku juga menyadari hal itu, menilik semakin seringnya pertengkaran keduanya meramaikan rumah kami.
Aku menoleh dan kulihat air mata membasahi pipinya. Ah, Nadia si lembut hati. Mungkin dia yang akan terluka paling parah diantara kami berempat.
“Kau memilih siapa?” tanyaku kemudian.
“Maksudmu?”
“Mereka pasti akan memisahkan kita. Kau boleh memilih duluan, Ayah atau Ibu?”
Nadia menghapus air matanya. Lalu tiba-tiba bangkit dan duduk menghadapku.
“Dania, kenapa aku yang harus memilih duluan?”
“Karena aku sayang kamu, Nad. Sangat. Itu sebabnya aku memberimu kesempatan pertama untuk memilih yang terbaik bagimu…” jelasku panjang lebar.
“Tapi aku tak mau memilih! Karena itu berarti kita tetap akan berpisah!” suaranya meninggi, dan air mata kembali mengalir di pipi halusnya. Nadia menangis, namun tetap terlihat cantik.
Ya, Nadia memang cantik. Cantik dan pintar, malah. Tak seperti aku… Entah kenapa ada kembar yang begitu berbeda seperti kami. Hanya hari kelahiran saja yang menjadi persamaan diantara kami.
Aku yakin, ayah atau ibu pastilah akan memilih Nadia, bahkan mungkin itu salah satu bahan pertengkaran mereka : siapa yang berhak mengasuh anaknya yang paling cantik dan pintar.
“Ah… andai saja ada pilihan lain..”
Aku menghela nafas. Entah kenapa, tiba-tiba aku merasa kesal.
“Perpisahan itu sudah pasti, Nad. Hanya ada 2 pilihan. Apakah kau ingin ikut ibu?”
“Tidak. Aku tak pernah suka dengan Oom Anton,” ketus jawaban Nadia.
“Hm, baiklah. Aku yang akan ikut ibu dan kau boleh bersama Ayah dan Tante Mirna.”
“Tidak! Aku juga tak mau bersama keduanya!” teriaknya bercampur tangis.
Tiba-tiba dia memelukku, menangis keras di bahuku. Mau tak mau, aku pun ikut menangis bersamanya.
“Aku ingin kita tetap bersama, Dan. Kau satu-satunya yang membuatku kuat meski prahara ini menimpa kita. Kau alasan aku tetap waras…”
Ah, kembaranku tersayang… Aku salah. Bukan hanya tanggal lahir yang menjadi kesamaan kita. Rasa sayang dan kebersamaan kita, itu hal terpenting yang kita bagi bersama. Tapi… apakah ayah dan ibu akan beranggapan sama?
“Mbok Nah dan Pak Marto!” cetusku tiba-tiba.
Nadia melepaskan pelukannya, menatapku penuh tanya.
“Pengasuh dan sopir itulah yang sebenarnya membesarkan kita selama ini,bukan? Kita ikut mereka saja!”
Nadia terbelalak, lalu tawa kamipun pecah… Ah, andai saja bisa..
***
Meramaikan Prompt #50 MFF . Jumlah : 395 kata.
22 Comments
Leave a reply →