LALANG UNGU

Ruang berbagi pengalaman dan manfaat

#5. Akhir sebuah kasus

| 10 Comments

Yang belum baca cerita sebelumnya, silahkan cek di lapak tetangga ya … ***

Hari berganti namun penyelidikan yang terus dilakukan belum menunjukkan hasil yang berarti.  Seluruh sudut TKP telah diperiksa dengan teliti, semua karyawan cafe yang bekerja di sore yang naas itu telah diinterogasi.  Namun belum ada titik terang tentang kematian Rangga Aditya alias Radit, mantan aktor yang menjadi penulis sekaligus pengusaha cafe itu.

AKBP Eksak Sindhunata kembali menghirup kopi hitam nan kental dari cangkir di hadapannya.  Tandas.  Entah itu cangkir kopi ke berapa yang sudah diminumnya malam ini.  Berkas-berkas dan foto-foto tentang kasus itu berserakan memenuhi mejanya, termasuk selembar kertas bertuliskan sederet angka yang (sekilas) tampak tak beraturan.  Itu adalah kode sandi Franklin’s Magic Square yang dicoretkan Dea di cafe beberapa hari lalu, ketika memecahkan kode huruf yang ada di laptop korban dan ternyata menghasilkan satu nama : KIRANA.

Tapi…. siapa pula sang empunya nama itu? seberapa penting dia dalam hidup Rangga hingga ia merasa perlu menuliskan dalam bentuk kode-kode seperti itu?  Sejauh ini belum satu orang pun yang berkaitan dengan kasus itu, yang bernama Kirana.  Tidak karyawan cafe, tidak teman-teman dekat korban, atau mungkin pelanggan cafe? tiba-tiba pikiran itu terlintas di benaknya.  Ah.. tapi bagaimana bisa mendata pelanggan cafe? Mereka datang-pergi tak terdaftar… eh, emangnya perpustakaan, punya daftar pengunjung? bantahnya sendiri dalam hati..

DEA. Kembali nama itu mengusik hatinya.  Pelanggan cafe sekaligus saksi dalam kasus itu, yang juga merupakan ‘tersangka utama’ penyebab kasus-kasus yang belakangan ini mengganggunya : gelisah, tak nyenyak tidur, kangen… eh, kangen??

Hah! Dengan gemas laki-laki itu menghempaskan berkas yang sedang dipegangnya ke meja.  Apa-apaan ini? Kenapa pula sosok dari masa lalunya itu masih sanggup mengganggu konsentrasinya?  Ia pun beranjak membuka pintu ruang kerjanya. Ada Kopral Jono yang sedang piket jaga malam itu.

“Ada yang bisa saya bantu, ‘nDan ?”

“Hm..tolong buatkan kopi lagi ya. Terima kasih “

“Siap, ‘nDan..!”

Kembali Sang Kepala Polisi itu menghempaskan tubuhnya di kursinya.  Menekuri berkas-berkas itu, mencoba mengingat-ingat fakta demi fakta yang sudah terkumpul, namun belum cukup untuk membangun sebuah kesimpulan.  Lalu tiba-tiba dia ingat kata-kata Dea yang tercatat dari pemeriksaan pertama.

Lelaki berkaca mata hitam itu selalu datang dan pergi pada jam yang sama.  Sendirian.  Pesanannya selalu diantar langsung ke meja itu, tanpa dia harus memesan terlebih dahulu..

Hm… jadi dia mempunyai jadwal tetap dan menu pesanan yang sama, yang pasti sudah diketahui oleh semua karyawannya, atau siapapun yang mau bertanya pada karyawannya. Tapi siapapun yang berhasil membubuhkan racun ke cangkir korban, harus punya akses ke cangkir itu.

Kembali ia mengambil dan meneliti berkas data seluruh karyawan, baik yang sedang bertugas / tidak pada sore itu, juga jadwal tugas mingguan mereka.

Ia masih asyik meneliti berkas-berkas itu, hanya menggumamkan ucapan terima kasih ketika anak buahnya masuk dan meletakkan secangkir besar kopi hitam kesukaannya. Ada yang menarik perhatiannya : ada ketidak cocokan antara jadwal mingguan dengan absensi karyawan sore itu.

Ia membuat garis tebal dibawah kata Yudi, nama karyawan yang tercatat di absen sore itu, namun seharusnya dia bertugas sore sebelumnya. OK, mudah-mudahan ini sebuah titik terang, pikir AKBP Eksak.  ‘Periksa ulang saksi Yudi’, tulisnya di buku agenda.

Suara jam  dinding berdetak membuatnya mengarahkan pandangan ke sana, hm.. sudah cukup larut. Segera diberesinya meja kemudian beranjak meninggalkan ruang kerjanya itu…

***

“Apa alasan anda berganti jadwal tugas?” tanyanya siang itu pada Yudi yang dipanggil untuk diperiksa.

Laki-laki muda bertubuh kurus itu menunduk, tapi masih belum ada jawaban darinya.

“Saudara Yudi, tolong jawab pertanyaan saya!”

“Eh..anu pak, saya… saya berhalangan pada jadwal saya sore sebelumnya.. “

“Halangan apa?”

“Emm.. saya sakit pak.  Ya, betul… seingat saya, saya sakit waktu itu..”

“Sakit apa? Apa buktinya? “

“Ehm.. sakit…kepala. Ya, saya sakit kepala sehingga tidak bisa masuk. Buktinya? yaa..buktinya saya tidak masuk itu, pak..”

“Saudara Yudi, jangan berbelit-belit! Siapa yang bisa mendukung pernyataanmu?”

“Eh.. Pak Ratman. Ya, Pak Ratman yang menyuruh saya… eh tidak, maksud saya… Pak Ratman yang mengatur jadwal eh memberi izin saya pindah jadwal, pak polisi… ” dengan tergagap-gagap karyawan itu mencoba menjawab dan peluh mulai timbul di dahinya.  AKBP Eksak semakin curiga.

“Saudara Yudi, anda tahu…bila terbukti bersalah hukuman anda akan sangat berat, kecuali bila anda mau bekerja sama dan memperlancar pemeriksaan ini..” pancingnya.

Yudi semakin pias.  Jari jemarinya tampak saling menggenggam lalu dilepaskan, begitu berulang-ulang. Kegugupannya kian jelas terlihat.

“Saya… saya tidak berniat membunuh Pak Rangga, Pak..” lirih suara itu akhirnya terdengar.

“Tidak berniat? Lalu kenapa kau bubuhkan racun itu pada minumannya?” pancingnya kembali.

“Saya tak tahu itu racun, Pak… Pak Ratman bilang, obat itu hanya akan membuatnya sakit perut sedikit untuk membuatnya jera…”

“Jadi Pak Ratman yang menyuruhmu? Dia dan Pak Rangga pemilik bersama cafe itu, bukan?”

Yudi mengangguk lemah, “Tolong Pak… jangan hukum saya terlalu berat. Saya berkata jujur, pak… Pak Ratman memaksa saya melakukannya, atau hutang saya harus saya lunasi minggu itu juga. Sebaliknya…, bila saya mau memasukkan bubuk itu ke minuman Pak Rangga, hutang saya dianggap lunas bahkan saya mendapat bonus lima juta..”

“Kau bilang tadi Pak Ratman ingin Pak Rangga sakit perut sehingga jera.  Apa maksudnya?”

Kali ini, karyawan cafe itu terdiam cukup lama, sehingga AKBP Eksak mengingatkannya untuk berterus terang jika tidak ingin memperberat hukumannya.

“Pak Rangga menolak menjual sahamnya kepada Pak Ratman yang menginginkan kepemilikan tunggal cafe itu dan menghalanginya mengelola cafe itu seperti cafe Pak Ratman yang satunya.  Pak Ratman jengkel karena Pak Rangga juga menyembunyikan surat-surat berharga termasuk surat kepemilikan cafe itu”

“Cafe yang satunya itu cafe yang mana?”

“Rainbow’s Cafe “

Ah, jadi teman bisnis Rangga itu pemilik cafe terkenal yang disinyalir menjadi tempat operasi bandar besar narkoba yang sedang jadi incaran kepolisian.  Apakah Rangga dibunuh karena menghalangi bisnis narkoba Ratman?

“Lalu, siapa Kirana?”

Yudi tampak mengerutkan kening, berpikir dan mengingat-ingat sesuatu.

“Kirana ? Emmm… kalau tidak salah, itu nama putri Pak Rangga dengan Bu Lia, Pak Polisi…”

“Bu Lia ?Bu Lia siapa?”

“Liana Citra Dewi pak, mantan penyanyi terkenal itu…”

“Oo….Liana yang itu… Eh, bukankah dia istri Pak Ratman?”

“Betul pak, sebelum menikah dengan Pak Ratman, Bu Lia pernah menjadi istri Pak Rangga. Mereka bahkan memiliki seorang putri yang sekarang tinggal bersama orang tua Pak Rangga, namun tak banyak orang luar yang tahu hal ini.”

Ah… jadi begitu? Rupanya tak hanya persaingan bisnis saja yang menjadi motivasi pembunuhan Rangga, rupanya ada kisah cinta segi tiga di antara Rangga, Ratman & Lia.  Gambaran itu makin jelas terbentuk.

“Baiklah Saudara Yudi, anda kami tahan untuk pemeriksaan lanjutan. Dan kami akan memanggil saksi-saksi lain untuk kami crosscheck dengan pernyataan saudara.”

Yudi hanya bisa menunduk lesu, lalu membiarkan dirinya digelandang oleh petugas menuju ruang tahanan.

Sementara itu, Sang Kepala Polisi itu tersenyum dan menghela nafas lega. Satu kasus telah mendekati akhir penyelesaian. Tapi…bagaimana dengan kasus hatinya yang bersangkutan dengan cewek bodoh tersayang itu?

Rasa lega yang sempat singgah, langsung menguap dari hatinya…. 🙁

***

Teman… demikianlah akhir dari kasus pembunuhan yang melibatkan Dea, Rangga dan AKBP Eksak Sindunata. Lalu, bagaimana ‘kasus’ antara Dea dan AKBP Jutek itu? Hm… itu sih lain cerita! 🙂

10 Comments

Leave a Reply

Required fields are marked *.