Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, pada lebaran kali ini aku juga mudik ke Semarang. Meskipun tak seperti biasanya, kali ini hanya 2 hari saja yaitu pada tanggal 10-11 Agustus 2013, karena pada tanggal 12 nya sudah harus masuk kerja lagi.. 🙁
Tapi, meskipun hanya sebentar, alhamdulillah acara kumpul keluarga di rumah masa kecil kami selalu menyenangkan dan penuh kesan. Selalu ada kegiatan asyik ataupun cerita-cerita seru dari masa kecil kami yang menyemarakkan saat-saat kumpul dengan kakak-adik ditambah para keponakan ini.
Salah satu pemicu kenangan lama kami itu adalah sebuah pohon Nangka ( Artocarpus heterophyllus ) yang tumbuh di halaman rumah kami. Sejak kami menempati rumah itu setelah kepindahan kami dari kota sejuk Salatiga, pohon Nangka itu sudah ada di halaman rumah kami. Saat itupun sudah terlihat besar, tajuknya yang lebat menaungi halaman rumah kami sehingga area di bawah pohon itu selalu menjadi tempat favorit bagi kami untuk bermain bersama teman-teman.
Pohon itupun selalu berbuah lebat, pating grandul menyenangkan hati yang melihatnya. Setiap kali musim buah, kami hampir tiap hari membagi-bagikan buah nangka yang sudah matang kepada tetangga kanan-kiri ataupun mengirimkannya kepada saudara, karena tak pernah habis kami makan sendiri. Daging buahnya berwarna kuning agak oranye -tak seperti nangka yang banyak di pasar yang berwarna kuning pucat- terasa manis, dan tebal. Bahkan dami-nya pun tebal sehingga selalu menjadi rebutan saat kami kecil 🙂
Banyak cara untuk memanfaatkan buah Nangka ini. Tidak hanya dimakan segar buahnya yang matang, namun nangka muda -yang kami sebut gori- menjadi bahan utama sayur gudeg ataupun Jangan thewel ( sayur nangka muda ). Kalau di Pekalongan, biasanya dicacah menjadi bahan Megono, masakan khas Pekalongan itu. Oya, bahkan biji nangka -yang kami sebut beton– yang direbus pun menjadi makanan kesukaan kami waktu kecil lho… Hanya, kalau kebanyakan bisa sering (maaf) buang angin..hehe..
Selain sebagai pohon penaung halaman rumah kami, dahan-dahannya yang kokoh juga menjadi tempat yang menyenangkan untuk diduduki sore-sore. Memanjat dan duduk-duduk sambil ngobrol di dahan pohon itu, menjadi salah satu kegemaran kakak laki-lakiku dan teman-temannya. Tapi, karena besar dan rimbun ini, seringkali pula ada cerita-cerita ‘horor’ yang menyertai keberadaan pohon itu. Yang katanya ada ‘penunggu’nya lah, atau ada yang melihat ‘sesuatu’ di pohon itulah… namun alhamdulillah, aku maupun keluarga kami lainnya tidak pernah melihat / menyaksikan kebenaran cerita-cerita seram itu, jadi ya tetap enjoy saja..hehe…
Demikianlah, cerita keasyikan kami bermain di bawah / di atas pohon nangka itu saat kami kecil, kami ceritakan kembali kepada anak-anak saat ini. Mereka terkagum-kagum melihat pohon yang saat ini berdiameter cukup besar itu : tak cukup ditangkup lengan orang dewasa.
Sayangnya, saat ini pohon ini semakin menua, dan sudah tak produktif lagi. Tak ada lagi pemandangan pohon besar dengan buah-buah yang bergelantungan. Memang masih ada satu-dua buah yang muncul, namun ukurannya tak sebesar dulu dan rasanya pun tak semanis dahulu. Namun kami tak sampai hati untuk menebangnya. Rasanya sayang bila pohon sarat kenangan ini hilang dari halaman rumah kami. Kami hanya memotong dahan-dahan yg tua yang bisa membahayakan saja.
Saat ini, pohon besar ini beralih fungsi menjadi inang bagi beberapa tanaman hias kami, antara lain : anggrek merpati dan tanaman paku Tanduk Rusa atau yang biasa kami sebut Simbar Menjangan. Oya, sebenarnya aku tak tahu pasti, apakah tanaman paku yang kami miliki ini bernama Paku Tanduk Rusa ( Platycerium bifurcatum ) atau Paku Simbar Menjangan ( Platycerium coronarium ), dulu kukira dua nama itu sinonim, tapi ternyata nama latinnya beda… Ah, mungkin ada teman yg lebih tahu tentang hal ini?
Oya, ini dia penampakan pohon Nangka dengan Simbar Menjangan yang hidup subur menempel di inang nya ini :
Nah, demikianlah ceritaku tentang pohon Nangka dan Simbar Menjangan yang ada di halaman rumah masa kecil kami. Oya, Tulisan ini diikutsertakan pada “Giveaway Aku dan Pohon” yang diadakan oleh Mbak Murtiyarini.
Pingback: Produktif lagi |
Pingback: Rungkat