Ketika dalam perjalanan yang lalu, aku melihat kejadian seorang anak yang tantrum dan membuat heboh satu gerbong kereta, tiba-tiba saja aku teringat cerita ibu bahwa duluuu…saat masih Balita aku pun pernah rewel saat pertama kali diajak beliau naik bus. Dalam pertemuan-pertemuan keluarga kami, cerita tentang hal itu cukup sering ‘diputar-ulang’ , tapi tiba-tiba aku penasaran, separah apa rewelku saat itu?
Dan akupun bertanya-tanya dalam hati, bagaimana perasaan ibu ku saat itu? Seberapa banyak aku telah mempermalukan ibu dengan kerewelanku di masa kecil itu? Akupun kemudian mengirim pesan kepada ibu saat itu juga, menceritakan tentang kejadian anak yang tantrum di kereta api itu dan menanyakan apakah aku juga segitu-nya waktu itu? Dalam pesan jawabannya, beliau menyatakan bahwa saat pertama naik bus itu aku memang menangis tapi tidak sampai teriak-teriak membuat heboh dan mempermalukan beliau… Ah… entah memang begitu kejadiannya dulu, atau itu hanya salah satu cara ibu menenangkanku, tapi aku tetap mengirim pesan mohon maaf atas kelakuanku saat itu. Dan aku bersyukur, mempunyai ibu yang sabar dan tangguh.
Beliau yang lahir dan menjalani masa kecil di masa penjajahan itu telah ditempa cukup keras dalam masa-masa awal kehidupannya. Terbiasa hidup dalam keterbatasan ekonomi justru membuat beliau semakin kuat & tegar. Di saat remaja seusianya pasrah dengan nasib menjalani perjodohan dini yang diatur orang-tuanya, beliau nekad menolak dijodohkan saat lulus SMP dan memberanikan diri meninggalkan Salatiga dan merantau ke Jogja, demi bisa melanjutkan sekolah dengan beasiswa ( namanya ikatan dinas, waktu itu..). Bertekad segera lulus dan bekerja sebagai guru untuk membiayai hidup bersama ibu dan adiknya. Ah, membaca cerita perjalanan hidup yang beliau tuliskan untuk kami, sungguh membuatku makin bangga pada sosok ibuku ini.
Sebagai ibu bekerja dengan 5 anak yang masing-masing jarak usianya antara 1-2 tahun, tentulah dapat dibayangkan kerepotannya, terlebih kala kami masih kecil. Kesabaran menghadapi kerewelanku saat pertama naik bus itu hanya bagian kecil dari cerita tentang kesabaran ibu mengasuh kami. Lima anak ( 3 perempuan dan 2 laki-laki ) dengan karakter dan minat yang berbeda-beda yang tentunya masing-masing membutuhkan perhatian dan penanganan yang berbeda pula. Tapi, seingatku… belum pernah sekalipun aku menyaksikan ibu lepas kontrol saat marah pada kami berlima, hingga ‘main tangan’ misalnya.. Alhamdulillah, itu tak pernah terjadi.
Membesarkan 5 orang anak dengan penghasilan 2 orang PNS golongan menengah, saat itu pastilah cukup memusingkan. Namun orang tua kami yang bergelut di dunia pendidikan berprinsip bahwa warisan terbesar orang tua adalah dengan bekal pendidikan yang cukup. Untuk bisa membiayai hingga pendidikan tinggi untuk 5 orang anak (3 negeri & 2 swasta), tak bisa hanya mengandalkan gaji saja, maka ibu pun mengembangkan jiwa dagang warisan nenek. Tak malu membawa dagangan pakaian / kain-kain ke pertemuan-pertemuan yang diikutinya. Alhamdulillah, kami bisa mewujudkan keinginan beliau, karena kerja keras beliau selalu menjadi pemacu semangat belajar kami agar segera lulus dengan nilai baik dan memberi kebanggaan penebus kerja keras itu.
Dalam perjalan kekeluargaan kami bertahun-tahun ini, tentu saja sering pula terjadi ketaksepahaman dengan ibu. Biasanya karena cara pandang kami yang cenderung ingin praktis berbenturan dengan keinginan beliau yang cenderung idealis.
Dalam menentukan karir misalnya. Terus terang, sebagai salah satu ‘orang lama’ ibu dan bapak masih beranggapan bahwa menjadi PNS adalah pilihan terbaik. Sempat terjadi suatu konflik ketika Si Bungsu menolak keras untuk mendaftar CPNS bahkan sengaja memperlambat pengambilan ijazahnya agar tak harus ikut test itu. Dia memilih untuk berwirausaha saja. Setelah melalui perdebatan cukup ‘alot’ setiap kali saat test tiba, dan juga setelah melihat potensi yang ada pada usaha yang dirintis adik kami itu, akhirnya bapak merestui pilihan Si Bungsu. Kami semua yakin, ada peran besar ibu di balik turunnya restu bapak itu.
Pernah pula suatu ketika aku berselisih paham dengan beliau. Untuk suatu masalah yang menurutku sangat prinsip, aku merasa beliau sudah terlalu jauh ‘campur-tangan’ dalam hal itu. Pada dasarnya, aku orang yang memilih diam saat marah, lebih karena aku tak ingin kata-kata yang terlontar saat aku emosi akan menyakiti hati sasaran emosiku dan kemudian akan menjadi suatu hal yang kusesali kelak. Maka, saat aku merasa tak dapat lagi menerima hal itu, aku memilih diam, menghindari konfrontasi dengan beliau.
Namun siapa sangka, ternyata diamku itu justru membuat beliau lebih sakit hati. Beliau merasa tak lagi kupedulikan, tak lagi dibutuhkan, tak diharapkan keberadaannya di rumah kami, dsb. Beliau memang tak langsung menyatakan hal itu padaku, namun pada salah seorang kakakku di lain kota, ketika beliau menyatakan keinginannya untuk tinggal di sana dengan alasan agar tak merepotkanku!
Duuh… saat tahu hal itu aku sedih sekali. Untunglah, Allah masih memelihara hatiku, menanamkan ingatan akan semua yang sudah beliau lakukan selama ini untuk kami, terutama untukku… Setelah semua kesabaran beliau dalam mengasuhku sejak kecil hingga dewasa begini, bagaimana mungkin aku berhak merasa tak sabar hanya karena suatu peristiwa itu?
Kesadaran itu membuka mata hatiku untuk lebih dahulu mengakui kesalahan, bersimpuh dan berurai air mata di kaki beliau. Alhamdulillah, beliau menerima permohonan maafku dan sejak saat itu aku berusaha untuk terus berbaik sangka pada beliau. Apapun yang beliau lakukan tentu karena menurut beliau itu yang terbaik bagi kami… Kami hanya harus bisa lebih memahaminya saja..
Ibu, diusianya yang ke 78 tahun ini, alhamdulillah masih sehat dan aktif. Di sela rutinitas jadwal bersosialisasi dengan teman-teman arisan / pengajian / senam Lansia-nya, beliau masih menyempatkan diri bolak-balik Jogja – Semarang untuk mensupport salah satu cucu beliau yang butuh perhatian lebih. Masih ubet berdagang kecil-kecilan meskipun mempunyai pensiun tetap, dan beliau bahkan masih seringkali menjadi ‘tali penyelamat’ bagi salah seorang dari kami yang tidak stabil keadaan ekonominya.
Ibu, tak kan pernah habis rasa syukur kami, memilikimu sebagai ibu kami. Ragamu kini memang kian terlihat ringkih, namun semangatmu sejak dulu hingga kini akan selalu menginspirasi kami. Ketangguhan dan kesabaranmu akan selalu menjadi panutan kami. Dengan bangga kami katakan pada dunia : Perempuan tangguh itu adalah ibu kami! Semoga Allah SWT melindungi & merahmatimu selalu, Ibu… Aamiin…
Pingback: Sekelumit Catatan Tentang Berduka