Beberapa waktu lalu, membuka-buka arsip lama & menemukan cerita berseri ini :
#1. Suatu sore di sebuah cafe
#2. Sore itu menjadi tak terduga
#3. Dan sore itu pun berlalu menyisakan sendu
#4. Back to the cafe, breaking the code
Satu kasus memang sudah selesai, namun masih ada ‘kasus’ lain yang belum tuntas, bukan? Inginnya, kisah berikut ini menjadi pembuka kisah-kisah selanjutnya… 🙂
****
Dea masih asyik dengan bacaannya di cafe langganannya sore itu, ketika tiba-tiba nada detik terakhir-nya Lyla terdengar. Sekilas diliriknya layar HP dan ketika melihat identitas penelpon yang sama yang telah berkali-kali menelponnya seharian itu, ia pun kembali asyik dengan bacaannya.
Dia masih saja asyik begitu ketika beberapa waktu kemudian suara detak sepatu di lantai keramik terdengar teratur menuju ke arahnya, dan sejurus kemudian sebuah tepukan lembut singgah di bahunya.
“Hai, Re… Kamu terlambat seperti biasanya,” sapanya pada karibnya yang memasang senyum tak bersalah di sebelahnya itu.
“Maaf, De… Pak Bos rewel betul hari ini, jadi tak bisa langsung kutinggalkan kantor begitu saja..” sahut Rere sambil menarik dan menduduki salah satu kursi di meja itu.
“Oya, Dodi berkali-kali menelponku… Masih belum mau menerima telpon darinya ya?” tanya Rere langsung dengan nada menyelidik.
Dea menghela nafas panjang, menutup novel yang dibacanya, lalu menyipitkan mata ke arah sahabatnya itu.
“Heei… jangan curiga begitu, Say…. Aku bukan pembawa pesan perdamaian dari mantanmu itu, kok…” kata Rere santai sambil melambaikan tangan memanggil pramusaji. Lalu percakapan mereka terhenti ketika mereka memilih menu hingga pelayan itu meninggakan mereka untuk menyiapkan pesanan mereka.
“De, sudah hampir dua minggu kalian pisah, tapi dia masih belum terima kau putuskan ya?” tanya Rere menyambung pembicaraan mereka.
“Mungkin egonya yang nggak terima karena bukan dia yang memutuskan hubungan kami, Re..”
“Sebenarnya, apa alasanmu memutuskannya, De? Karena kabar burung dia selingkuh dengan Susi itu?”
“Bukan kabar burung, Re.. Dia sendiri mengakui jalan dengan Susi untuk membuatku cemburu kok..”
“Hah, iya kah? Dan dia berhasil, bukan?”
“Apanya? Membuatku cemburu? Nggak juga…. Hm, membuatku jengkel sih iya…” ketus Dea ditingkah tawa merdu sahabatnya. Rere tetap tertawa, tak peduli pelototan mata Dea.
“Ish…jangan keras-keras ketawamu, Re… Orang-orang ngeliatin tuuh…”
Maka Rere pun berusaha menahan ketawanya, namun masih menyisakan senyuman yang terulas di bibirnya.
“Kenapa sih, senyum-senyum begitu?” tanya Dea sewot.
“Maaf… geli saja lihat kau yang sewot begitu, tapi mengaku tak cemburu…hehe…”
“Aku kesal, bukan cemburu, Re… Menurutku dia kekanak-kanakan sekali!”
“Sebentar, De… Seingatku, kau memang seriiing sekali kesal padanya, bukan? Yang dia terlalu mengekangmu lah, yang dia sangat cemburuan lah, yang…”
“Aaah.., sudah Re. Tak perlu kau sebut satu per satu sumber kekesalanku padanya itu..” cetus Dea memutus perkataan sahabatnya.
“Nah, itu dia… Sudah lama aku heran dengan hubungan kalian. Setelah lama kau cuek dengan pendekatannya berbulan-bulan, tiba-tiba saja dia memproklamirkan hubungan kalian dengan bangganya hampir 4 bulan lalu. Dan kau meng-iyakan dengan kesal saat aku menanyaimu akan kebenaran klaimnya itu, namun selama kebersamaan kalian itu adaaa… saja yang kau keluhkan tentangnya. Sebenarnya, kamu niat nggak sih, nerima dia waktu itu?” panjang lebar Rere mendesaknya, menjadikan Dea terdiam.
Dea ingat betul, kenapa 4 bulan lalu -akhirnya- ia menerima Dodi sebagai pacarnya. Semata karena ibu kembali bersedih atas kesendiriannya sampai saat itu, padahal ibu yang sangat dikasihinya itu baru saja pulang dari perawatan di rumah sakit.
Ya, Dea ingat betul bahwa ia menerima Dodi hanya karena ingin membahagiakan ibunya, tak ingin wanita terkasih itu terbebani pikirannya karena kesendirian si anak bungsu yang tak kunjung usai. Sebuah pilihan berdasarkan alasan emosional yang belakangan disesalinya, dan dia merasa terjebak dalam hubungan itu.
Kedatangan pelayan dengan pesanan mereka membuyarkan lamunan Dea. Rere pun membiarkannya bermain dengan pikirannya sendiri, setidaknya hingga beberapa waktu kemudian.
“Kamu tak pernah mencintainya, bukan?” tanya Rere pelan, tapi seolah teriakan kebenaran yang nyaring dan menusuk hati Dea.
“Bukan berarti aku tak pernah berusaha mencintainya, Re..” keluh Dea.
“Sebuah usaha yang akhirnya kau hentikan…”
“Ya, karena akhirnya aku sadar, dia pantas mendapatkan yang lebih baik. Yang lebih mencintainya, entah Susi atau siapapun itu…”
Rere menatap Dea, ketika menangkap nada lelah dalam kata-kata yang diucapkan sahabatnya itu.
“Jadi, itu alasanmu memutuskannya. Apakah tepat seperti itu yang kau katakan padanya? Dan kenapa kau tak mau menerima telpon-telpon darinya?”
“Ya, ku tegakan hati untuk mengatakan padanya bahwa ia pantas mendapatkan Susi atau gadis manapun yang mencintainya. Tapi ia tetap ngotot menyatakan bahwa kami benar-benar berjodoh dan saat ini aku hanya sedang tergoda oleh kehadiran orang lain. Itu-ituuuu… saja yang disampaikannya padaku hingga aku malas menemuinya ataupun menerima telponnya.”
Tiba-tiba Rere tersedak dan terbatuk. Segera Dea menyorongkan lemon tea pesanan Rere, yang segera diraih dan diminum sahabatnya itu.
“Kenapa, Re?” tanya Dea khawatir.
“Nggak papa.., kaget saja. Ada orang baru dan kau tak menceritakannya padaku? Huh.. terlaluuu!!” kata Rere dengan nada sakit hati yang nyaris bisa teraba.
“Halaah…, itu hanya ocehan Dodi, Re…! Nggak ada orang baru, satu pun… Percaya deeh..”
“Tak ada asap tanpa api, De. Dodi cemburu, pasti bukan tanpa sebab. Eeh…, sebentar… Kau bukannya tak bertemu orang baru sama sekali akhir-akhir ini, bukan? Ada Sang AKBP itu, bukan?”
Tiba-tiba saja, gantian Dea yang tersedak hingga terbatuk-batuk. Segera diraihnya Jus Sirsak di depannya sebelum Rere sempat menyorongkannya. Sambil minum dipelototinya Rere yang terlihat tersenyum sambil meneruskan makannya.
“Ngawur, kau Re… Tak ada apa-apa antara kami. Kami hanya beberapa kali bertemu untuk membahas kasus itu dan dia bahkan sama sekali bukan orang baru kok! Eh..”
Senyum Rere melebar mendengar bantahan Dea dan pernyataan yang keceplosan itu. Dia bukan orang baru! Lalu… ?
“Hm… bukan orang baru, ya? Jadi…. dia kenalan lama??” pancingnya kemudian.
“Iyaaa… kenalan lamaaa… Sudah ah, gak habis-habis makanan kita nih kalau kau mencecar terus begitu…” Dea mengelak berkomentar lebih jauh.
Sambil menyembunyikan senyum karena melihat rona di pipi Dea, akhirnya Rere mengangguk dan menurut untuk meneruskan makannya dalam diam. Namun dalam hati ia bertekad dilain waktu akan mengorek cerita tentang Sang AKBP itu, yang bukan orang baru namun tampaknya penting bagi Dea. Seberapa penting? Apakah kecemburuan Dodi beralasan dan memang ada sesuatu antara sahabatnya dengan kepala polisi yang satu itu?
Haaah… Rere penasaran sekali… !!
4 Comments
Leave a reply →