Salam jumpa, Sahabat Lalang Ungu.. Bagaimana kabarnya? Meski virus Covid-19 sedang trending dan mungkin sebagian diantara Sahabat sedang menjalani WFH sambil mendampingi putera-puterinya SaH, semoga sahabat semuanya tetap sehat dan berbahagia ya.. Oya, kali ini aku ingin menceritakan tentang kunjungan singkatku ke Keraton Kanoman Cirebon.
Mungkin teman-teman masih ingat bahwa pada akhir tahun 2019 lalu aku sempat melakukan trip singkat ke Cirebon, mencoba beberapa kuliner khasnya dan berkunjung ke 3 keraton di Cirebon serta 1 tempat wisata. Setelah berkunjung ke Keraton Kacirebonan dan Kasepuhan, keraton terakhir yang kukunjungi pada 27 Desember 2019 lalu adalah Keraton Kanoman.
Keraton Kanoman Cirebon
Lokasi & waktu operasional kunjungan Keraton Kanoman Cirebon
Sahabat Lalang Ungu, ketiga keraton yang ada di Cirebon ini letaknya memang relatif dekat, terutama untuk Keraton Kasepuhan dan Kanoman, sehingga sayang sekali bila sudah berkunjung ke salah satu keraton tidak lanjut ke keraton lainnya.
Baca juga cerita kunjunganku ke Keraton Kacirebonan dan Kasepuhan ya…
Adapun lokasi Keraton Kanoman adalah di Jl. Kanoman 40, Lemahwungkuk, Kec Lemahwungkuk, Kota Cirebon. Jangan kaget jika mencari jalan Kanoman ini malah menemukan Pasar Kanoman, terus saja masuk area pasar itu karena lokasi Keraton Kanoman yang mempunyai waktu operasional kunjungan dari jam 9 pagi hingga jam 5 sore itu adalah di belakang Pasar Kanoman itu. Sayang sekali memang, dengan adanya pasar yang hiruk pikuk ini seolah-olah Keraton Kanoman jadi tenggelam karena tak terlihat langsung dari jalan.
Dari Keraton Kasepuhan waktu itu, aku memilih naik becak ke Kanoman karena berdasarkan informasi dari pemandu di Kasepuhan bahwa letaknya dekat saja, dengan ongkos antara 10-15 ribu. Oya, bila teman-teman ingin naik becak juga ke Kanoman dari Kasepuhan (atau sebaliknya) pastikan ongkosnya (tawar menawar dahulu) sebelum naik ya.. Kemarin itu kutanya ongkos pak becaknya hanya menjawab ‘terserah ibu saja’ beberapa kali kutanya ulang, tetap begitu jawabnya. Nah, ternyata setelah tiba di Kanoman (yang memang tak sampai 20 menit kemudian) kusodori uang Rp.10.000,- ia minta lebih, dua puluh katanya. Lha..pripun to Pak..jare wau terserah Kulo..begitu batinku. Namun akhirnya kutambahi juga ongkosnya hehe ..
Beberapa Bangunan di kompleks Keraton Kanoman
Ketika pak becak menurunkanku di halaman Keraton Kanoman siang itu, suasana terlihat sepi. Aku lingak-linguk mencari bangunan / tempat semacam loket / penerima tamu, tapi tak terlihat. Lalu kulihat ada 3 orang pria duduk-duduk di lantai salah satu bangunan di halaman itu, dan aku pun nekad saja mulai berjalan menghampiri tempat mereka untuk bertanya di mana bisa membeli tiket masuk.
Ternyata salah seorang di antara mereka lebih dahulu berdiri dan berjalan menghampiriku. Beliau menyebutkan nama -sayangnya aku tak sempat mencatatnya dan kini ku lupa..hiks- dan mengatakan bahwa beliau adalah salah seorang kerabat keraton yang bisa memanduku berkeliling.
Ketika kutanya tentang tiket jawabnya memang belum ada pengelolaan khusus, aku bisa memberi sukarela semacam bantuan untuk pemeliharaan maupun jasa pemandu itu. Apa iya? Sebelumnya sempat googling ada yang menulis HTM 7-10K. Tapi entah di sebelah mana loketnya. Oh sudahlah..meski agak kurang puas atas jawaban itu aku menerima saja dan kami pun berkeliling sebentar melihat-lihat beberapa bangunan yang ada sambil mendengarkan penuturan ‘pemandu’ tentang sejarah gedung-gedung itu.
Jinem
Penyusuranku di Keraton Kanoman siang itu dimulai dari sebuah bangunan semacam pendopo terbuka tanpa dinding yang cukup luas, Jinem ini adalah semacam ruang tamu, tempat para tetamu Sultan diterima. Bangunan ini berlantai keramik dan memiliki beberapa saka / tiang yang dicat warna biru muda. Terdapat meja-kursi berwarna coklat kombinasi emas yang ditata di tengah ruangan.
Prabayaksa
Dari Jinem, kami kemudian masuk ke ruang dalam. Ruang ini lah yang dinamakan Prabayaksa yang didirikan Tahun 1588 M oleh Sultan Badarudin. Kurasa agak suram dan berbau khas ruangan yang lama tertutup. Di tengah ruangan ada meja-kursi yang ditata setengah lingkaran semacam untuk pertemuan/rapat, di bangunan ini juga terdapat bale yaitu tempat tidur yang sudah sangat tua usianya konon tempat pangeran beristirahat, semacam taman / hiasan batu dari karang dan keranda tempat disemayamkannya Sultan Kanoman sebelum dimakamkan di Makam Sunan Gunung Jati.
Keputren
Bangunan bergaya kolonial Belanda ini merupakan tempat tinggal putera-puteri Sultan. Sampai saat ini masih digunakan sehingga pengunjung tidak diperkenankan masuk untuk melihatnya.
Witana
Bangsal Witana yang terletak di bagian belakang Keraton Kanoman ini konon merupakan bangunan pertama / cikal bakal Keraton Cirebon. Berasal dari kata awit-ana (permulaan adanya) konon bangunan ini didirikan oleh Pangeran Walangsungsang / Cakrabuana pada 1369 M.
Selain sebagai tempat tinggal, bangunan ini juga digunakan sebagai tempat ibadah. Terdapat ruang semedi, ruang untuk bersuci dan ruang untuk melantunkan adzan. Sebagian lantai bangunan ini masih asli yaitu terbuat dari batu ampar hitam.
Di depan Bangsal Witana dibangun pasholatan yaitu tempat yang dahulu digunakan sebagai tempat sholat dan terdapat sumur witana di sebelah kanan. Sebuah sumur tua dengan permukaan air sekitar 1,5 m dari bibir sumur yang sampai saat ini masih bisa digunakan airnya untuk keperluan keraton.
Oya, sampai saat ini Bangsal Witana ini masih digunakan sebagai tempat untuk pembacaan Babad Cirebon pada setiap peringatan hari jadi Cirebon yaitu pada 1 Muharam.
Lawang Siblawong
Terdapat sebuah bangunan berbentuk gapura berwarna putih dengan pintu kayu jati tertutup, berada di antara jalan masuk ke Keraton Kanoman dan area Siti Hinggil.
Bangunan itu bernama Lawang Siblawong yaitu sebuah pintu besar yang hanya dibuka pada saat Ritual Panjang Jimat sebagai tempat keluar masuk perangkat keraton, selain saat itu maka pintu jati itu selalu tertutup.
Siti Hinggil
Siti Hinggil atau lemah duwur juga ada di Keraton Kanoman sebagaimana di Keraton Kasepuhan. Terletak di bagian tengah halaman keraton, sebelah Utara / arah depan dari bangunan utama keraton.
Berbeda dari kompleks Siti Hinggil di Kasepuhan yang didominasi warna cokelat/merah bata, di Keraton Kanoman ini bangunan-bangunan di kompleks Siti Hinggil nya didominasi warna putih dengan hiasan-hiasan piring porselen motif Tiongkok yang ‘bertaburan’ di dindingnya.
Konon di kompleks Siti Hinggil inilah dilakukan penobatan Pangeran Cakrabuana menjadi Sri Mangana karena memang di era Keprabon Caruban, kompleks Siti Hinggil merupakan pura penobatan raja.
Akses masuk ke Siti Hinggil ini melalui 3 pintu yaitu Lawang Syahadat yang menghadap Utara, Lawang Kiblat yang menghadap Barat dan Lawang Shalawat yang menghadap Selatan. Terdapat filosofi dalam penamaan ketiga pintu ini yaitu seorang manusia dalam upaya mencapai derajat yang tinggi harus memulainya dengan membaca syahadat sebagai syarat sebagai muslim, lalu melakukan sholat dengan menghadap kiblat dan senantiasa bersholawat atas Nabi Muhammad SAW sebagai junjungan dan panutan sebagai muslim.
Di dalam Siti Hinggil ini terdapat bangunan Mande Manguntur yaitu tempat Sultan menyampaikan wejangan, hukum, ajaran, dll kepada rakyatnya, dan bangunan Bangsal Sekaten yaitu tempat dipentaskannya Gamelan Sekaten pada tanggal 8-12 Bulan Maulud.
Sayang sekali waktu itu pemandu tidak mengajakku masuk ke kompleks Siti Hinggil, hanya menerangkan saja dari luar. Dan aku pun mengambil foto-foto dari luar pagar Siti Hinggil.
Selintas melihat Siti Hinggil adalah akhir dari kunjungan singkatku di Kanoman waktu itu. Di sana pemandu itu mengakhiri penjelasan tentang Keraton Kanoman dan setelah menyerahkan ‘biaya sukarela’ itu aku pun pamitan.
Jujur, aku belum puas dengan kunjungan selintas itu. Masih ada bagian-bagian yang ingin kulihat dengan lebih detil. Gedung Pusaka misalnya, aku belum sempat masuk dan tentunya juga bagian dalam Siti Hinggil seolah memanggil-manggil untuk datang lagi. Kunjungan ke Kanoman ini semacam anti klimaks dari kunjunganku ke 2 keraton lainnya. Sambil menunggu Ojol yang kupesan, aku melihat ada bangunan Pancaratna seperti di Kasepuhan lalu aku terpikir sepertinya aku tadi ‘salah masuk’, langsung ke halaman dan bukannya lewat depan seperti seharusnya dan mungkin saja yang memanduku tadi bukan pemandu yang sebenarnya sehingga tidak memberi tiket resmi, hehe..
Sahabat Lalang Ungu, itulah cerita kunjungan singkatku ke Keraton Kanoman Cirebon. Apakah kalian pernah berkunjung ke sini juga, Sahabat? Yuuk, ceritakan pengalamannya di kolom komen ya..
108 Comments
Leave a reply →