[Fiksi Lalang Ungu]. Senja telah berganti malam, namun hal itu luput dari perhatian Dea. Gadis itu masih termangu dengan hati nan patah, memandangi selembar kartu undangan di tangannya. Undangan pernikahan Ajie.
Berkelebat kenangan beberapa bulan sebelumnya, percakapan antara dia dan laki-laki yang namanya tertulis di undangan itu , di tempat yang sama : ruang tamu rumahnya.
……
” Jadi, betulkah semua yang kudengar itu, Jie? ” tanya Dea pelan.
Cukup lama hanya keheningan yang menjawab tanya itu.
“Jie…” usiknya lagi, menuntut sebuah jawaban. Dan ketika perlahan lelaki di hadapannya mengangguk, Dea terhenyak, seolah seseorang menamparnya!
“Kenapa tak pernah kau ceritakan dari awal ? Kenapa aku harus mendengar dari orang lain? ” kembali lirih tanya Dea terdengar.
Lelaki di hadapannya menghela nafas panjang. “Aku tak mau menyakitimu, De..”
Dea menatap tajam lelaki itu. Justru dengan menyembunyikan kenyataan itu, kau menyakitiku. Justru dengan memberikan harapan palsu selama ini, kau melukaiku begitu dalam! Namun rentetan kata itu hanya bergema pedih di hatinya, entah kenapa tak ada satu pun kata yang mampu keluar dari bibirnya.
Lalu perlahan lelaki itu mulai bercerita. Tentang sebuah nama yang sudah lebih dulu hadir di hidupnya, sejak dua tahun sebelumnya dan dalam beberapa bulan kedepan akan diresmikan menjadi pendamping hidupnya.
Sebuah nama yang perlahan mulai tersisih dari hatinya karena kedekatannya dengan Dea. Kedekatan yang menurutnya mengisi beberapa ruang kosong yang tercipta dalam hubungannya dengan gadis itu. Kedekatan yang menurutnya lebih mewarnai dan mampu menyemangati hidup lelaki itu. Kedekatan yang tak ingin dihentikannya, meski dengan resiko mencederai komitmen yang telah diberikannya sebelumnya kepada wanita lain dan juga keluarga besar mereka.
Tak terasa air mata telah membasahi pipi Dea, turun begitu saja tak tersadarinya, sementara ia mendengarkan tutur kata lelaki di hadapannya, lelaki yang kepadanya telah diserahkan bulat-bulat hatinya.
Lelaki yang selama beberapa bulan sebelumnya dengan senang hati diterimanya sebagai bagian dari hidupnya. Lelaki yang mampu menerbitkan bahagia dan menghapus luka hati yang pernah ada sebelumnya. Lelaki yang sangat diinginkannya untuk menemani langkah-langkahnya di masa depan. Lelaki yang ternyata sudah menjadi milik gadis lain!
Hal menyakitkan yang semula didengarnya dari bisik-bisik beberapa teman dan akhirnya diakui oleh lelaki itu. Ternyata selama ini aku hanyalah orang ketiga…jerit hatinya.
“Semua masih bisa berubah, De. Kita tetap dapat mewujudkan mimpi kita. Aku akan segera meminta keluargaku untuk membatalkan semuanya…” tutur lelaki itu kemudian, “pasti tidak akan mudah dan mungkin membutuhkan waktu, tapi mereka semua akan mengerti pada akhirnya..”
Kembali Dea terhenyak. Tak hanya sekedar menjadi orang ketiga, aku akan segera menjadi penyebab batalnya sebuah pertunangan! Sanggupkah aku? tanya itu berputar-putar di benaknya.
Ini minggu yang menyakitkan buatnya. Setelah mendengar berita itu dan selama menunggu kesempatan untuk menanyakan kebenarannya, kemungkinan menjadi orang ketiga telah sangat meresahkan hatinya.
Selain rasa sakit karena merasa telah dibohongi, juga ada rasa malu. Apa kata teman, keluarga dan orang-orang terdekatnya bila berita itu benar? Bisik-bisik itu mulai memerahkan telinganya. Pandangan-pandangan sinis mulai dilontarkan padanya.
Apalagi bila ia benar-benar menjadi perusak hubungan yg telah terjalin lama & direstui dua keluarga….apa ia akan sanggup menerima konsekwensinya? Tapi yang lebih berat baginya adalah rasa bersalah itu. Meski bukan maunya, dia telah menyakiti hati gadis lain, memupus segumpal harapan yang telah terbangun sekian lama. Mungkin bisa juga menjadi pemicu putusnya tali silaturahmi dua keluarga besar.
Sanggupkah aku menari di atas puing hati mereka? tanya itu terus mengusik hatinya. Tapi kau juga mencintainya, Dea… Kau juga berhak bahagia, suara lain hadir disudut hatinya.
” De…” suara lelaki itu memutus pertentangan hatinya.
Dea menatap lelaki itu, mencari kepastian di mata yang sempat menjadi bunga tidurnya selama beberapa bulan ini. Ada cinta disana. Tapi, apakah itu memang benar-benar ada atau hanya tampak ada karena aku ingin itu ada? kembali hatinya berbisik.
Kalaupun cinta itu memang benar-benar ada di sana, sampai berapa lama, sebelum akhirnya akan pudar dan beralih pendar pada hati lain? Adakah garansi untuk cinta itu ada di sana selamanya? suara-suara hati itu makin mengusik.
“De…, kita akan melalui ini bersama-sama,” lelaki itu masih berusaha meyakinkannya, genggaman tangannya mencoba memastikan hal itu. Tapi akhirnya Dea tahu, ia sampai di batas kesanggupannya.
Perlahan ia menggeleng, dan melepaskan genggaman lelaki itu.
“Aku tak bisa, Jie… “
“Tapi kita… “
“Aku tahu. Saat ini mungkin memang ada cinta di antara kita, tapi aku tak yakin sampai kapan cinta itu ada. Saat ini kita merasa berhak melakukannya, tapi aku takut akan ada sesal di masa depan. Entah dariku, darimu, atau dari mereka . Dan aku tak sanggup menjadi orang yang menusukkan belati..”
……
Dan begitulah. Itu kedatangan terakhir lelaki itu di rumahnya. Atau lebih tepatnya, kedatangan terakhir yang diterimanya. Setelah itu masih beberapa kali lelaki itu datang, tapi tak pernah ditemuinya. Dan ia berhasil membuat berbagai alasan kepada ibunya yang merasa aneh atas semua penolakan itu, meski hingga kini ia tak sanggup bercerita kepada perempuan tersayang itu tentang betapa hancur hatinya.
Meskipun di tempat kerja perjumpaan itu tak dapat dihindari, tapi Dea bersyukur tetap berhasil menjaga sebatas percakapan antar rekan kerja. Tentu saja ada bisik-bisik lain di belakangnya, namun ia berhasil tak menghiraukannya. Kalau ada yang nekad mempertanyakan hubungannya dengan Ajie ia hanya akan menjawab singkat bahwa semua telah berakhir.
Dan sungguh ia beruntung, tak ada teman yang sampai usil menanyakan alasan putusnya hubungan mereka. Atau karena mereka telah menduga? Ah…Dea tak peduli. Bulan-bulan setelah itu memang bukan bulan yang mudah baginya, tapi telah berhasil dilaluinya (meski dengan hati compang-camping yang rapat berusaha disembunyikan di balik senyum tegarnya).
Dan sore tadi, lelaki itu datang mengantar undangan. Dea berhasil mengulas senyum saat menerima meski tak menjanjikan kedatangannya. Ya, meski sudah mengikhlaskannya, Dea tak tahu apakah akan sanggup melihat langsung kepastian runtuhnya mimpi besar mereka. Masih ada beberapa hari, biarlah waktu yang akan menjawabnya…
Perlahan Dea bangkit dari duduknya, menyalakan lampu teras dan sejenak tersentak oleh terang yang tiba-tiba menghapus kegelapan sebelumnya. Dia tersenyum kembali. Semoga berbahagia Ajie, tak akan pernah kusesali keputusan itu, bisik hatinya.
***
Bunyi lembut penanda pesan masuk WhatsApp terdengar, mengusik keasyikan Dea menekuni angka-angka yang ada di layar laptopnya malam ini. Diliriknya sebuah nama yang muncul di deret teratas list WA.
Seulas senyum pun terukir di bibirnya sambil meraih HP dan membuka pesan yang masuk itu, “Cek email ya say…” Cuma empat kata itu yang muncul namun mampu membuat senyumnya melebar.
Segera dibukanya akun emailnya sesuai pesan itu lalu membuka pesan teratas yang masuk dari si pengirim WA. Lalu perlahan senyumnya makin mengembang seiring dengan munculnya foto-foto yang terlampir di pesan itu.
Aaah…. Ia terpesona! Pemandangan yang tersaji dari foto itu sangatlah memukaunya : sebuah danau cantik di tepi hutan dengan pepohonan yang berselimutkan salju. Subhanallah…., desisnya…
Foto kedua masih berlatarkan danau bersalju, terlihat dua sosok di sana. Dengan rasa bahagia ia mengenali satu dari dua sosok yang duduk di kursi kayu di pinggir danau itu. Jaket tebal berkerudung yang hampir menutupi seraut wajah yang sedang tersenyum di foto itu, tak membuatnya pangling. Sesungguhnya, senyum lebar itulah yang paling membuatnya yakin bahwa itu adalah Milla, sahabat tersayangnya – si pengirim pesan WA tadi. Aaah… ingatannya pun mengalir ke saat-saat indah bersama Milla.
Milla adalah sahabat yang ditemukannya sejak awal masa kuliah dulu. Kesamaan kota asal membuat mereka dekat di perantauan, dan menjadi makin tak terpisahkan ketika menemukan begitu banyak kesamaan lain di sepanjang usia persahabatan mereka.
Salah satu kesamaan itu adalah mimpi melanglang buana. Dea yang terlahir dari keluarga sederhana, memendam mimpi untuk bisa menikmati keindahan dunia dengan mata kepalanya sendiri, tak hanya melalui gambar-gambar cantik dari alam maya yang menjadi koleksinya sejak awal SMA.
Mimpi itu membuatnya belajar lebih tekun di bidang yang diminatinya, agar bisa mendapat beasiswa kuliah di luar negeri. Dia tak perduli olokan teman-temannya sebagai si Pungguk Perindu Bulan. Dia tahu saat itu dia belum mampu mewujudkan mimpinya, namun dia yakin suatu saat nanti akan ada jalan untuk itu.
Seluruh keluarganya – ayah, ibu dan Mas Ade, abangnya – tahu dan ikut mendoakan terwujudnya mimpi itu. Mereka juga yang memompa semangatnya yang kadangkala meredup ketika beberapa test untuk mendapat beasiswa itu gagal didapatkannya. Dan dukungan itu semakin bertambah dengan kehadiran Milla, teman kuliahnya yang ternyata memendam mimpi yang sama.
Mereka saling bertukar foto tempat-tempat indah di belahan bumi lainnya, saling menyemangati upaya meraih mimpi, bahkan bersama-sama merancang banyak rencana yang diawali dengan kata ‘jika’ dan ‘nanti’…
Suatu kebersamaan yang manis dan banyak menggoreskan kenangan selama 4 tahun masa perkuliahan mereka. Kebersamaan yang akhirnya mesti terhenti, setidaknya terpisahkan oleh jarak. Dea memutuskan untuk pulang ke kota kecil mereka dan memasuki dunia kerja di sana. Kembali menemani kedua orang tua nya karena Mas Ade akan segera menikah dan mendapat tugas di luar pulau. Sementara itu Milla memutuskan meneruskan perantauannya ke Ibu Kota, menjadi salah satu dosen di perguruan tinggi di sana.
Alhamdulillah, teknologi membuat mereka tetap terhubung, sehingga masing-masing saling tahu kabar terbaru sahabatnya. Dea ikut bahagia ketika akhirnya Milla-lah yang pertama kali mewujudkan mimpi mereka : mengikuti kursus singkat di Belanda selama 3 bulan.
Kemudian tahun terus berlalu, namun mimpi mereka masih terpupuk di hati. Bahkan kesibukan Dea berkarir di kantor tak sepenuhnya menenggelamkan mimpi itu. Lalu suatu saat, di tahun kelimanya sebagai karyawati, ia mendapatkan tawaran untuk meneruskan pendidikannya di Jepang atas biaya dinas. Dea bahkan sudah menjalani 3 tahapan test ketika musibah itu datang : ayahnya dipanggil ke pangkuan Illahi…
Sebenarnya dia masih mendapat kesempatan meneruskan test itu, namun 3 tahun meninggalkan ibunya seorang diri, bukanlah pilihannya sama sekali. Dengan ikhlas dia mengundurkan diri. Dia yakin, bila memang rezekinya, maka di waktu yang akan datang pun kesempatan itu masih akan menghampirinya.
Tahun berganti dan mimpi Dea masih berupa mimpi, sementara Milla ternyata mendapatkan kesempatan untuk kembali mewujudkan mimpinya. Kali ini Jerman menjadi tempat belajarnya. Bahkan kemungkinan besar masa tinggalnya di sana tak hanya sampai gelar doktor itu didapatnya karena ia menemukan tambatan hatinya di sana.
Suara ketukan lembut di pintu kamarnya membuyarkan lamunan Dea. Ia pun menoleh dan mendapati ibunya tersenyum lembut di ambang pintu.
“ Sudah larut, lho Nduk…. Masih banyak lemburannya?” tertatih ibunya memasuki kamar dan duduk di tepi tempat tidurnya.
“Mboten Bu, sudah hampir selesai kok… Oya Bu, Milla kirim foto lagi. Bagus ya, Bu?” kata Dea sambil memperlihatkan foto-foto dari Milla. Ibu mengangguk sambil tersenyum lembut. Dan sebuah tekad membulat di dalam hati Dea : biarlah mimpi itu tetap terkemas rapi, karena senyum ibu dan kebersamaan dengan beliau, jauh lebih berarti..
“Siapa itu di sebelah Milla?” tanya ibu perlahan sambil mengamati lebih dekat foto itu.
“Calonnya, Bu. Cakep ya?”
“Iyo.. Alhamdulillah. Sampaikan kepada Milla, ibu turut berbahagia ya..”
“Nggih, Bu.”
“Nduk, kemarin mas-mu Ade cerita tentang tawaran kantornya untuk mengelola kantor cabang di kota kita.”
“Wah, alhamdulillah Bu.. Jadi Mas Ade, Mba Mayang dan si kecil Nino bisa kumpul dengan kita di sini. Rumah ini tak akan sepi lagi ya Bu..”
” Iyoo… Syukur Alhamdulillah.. Itu juga berarti, kamu akhirnya akan bisa mewujudkan mimpi kamu, Nduk..”
” Lho..maksud ibu?” Dea tampak kaget dan mengerutkan kening, menatap ibunya.
” Mas mu juga cerita tentang tawaran untukmu pindah ke kantor pusat . Mungkin di sana karirmu akan lebih cemerlang, dan kau pun bisa sering jalan-jalan ke luar negeri seperti yang selalu kau inginkan.”
Tergesa Dea menggeser laptopnya dan bergegas memeluk ibunya. Air matanya tumpah membasahi bahu sang ibu. Sungguh tak disangkanya abangnya akan menceritakan kepada ibu tentang tawaran itu. Tawaran yang memang menggiurkan hatinya pada awalnya, namun telah bulat hatinya untuk menolak tawaran itu.
Perlahan direnggangkannya pelukannya dan kembali menatap mata ibu. Ada air mata di sana, namun ibu juga tersenyum penuh ikhlas.
“Bu, aku tak akan pernah meninggalkan ibu lagi. Meski keluarga kita akan berkumpul lagi di sini, aku tak akan pergi, Bu. Aku akan terus memegang janjiku kepada ayah, untuk selalu bersama ibu,” Dea terbata-bata membisikkan kata-kata itu di tengah derai air matanya.
“Tapi, Nduk.. Kamu perlu suasana baru. Mungkin hatimu akan lebih cepat pulih bila tak selalu bertemu dengannya.”
Air mata Dea semakin deras, kembali dipeluknya erat wanita tersayang itu. Jadi, selama ini tetap saja ibu tahu betapa hancur hatinya meski telah berusaha sekuat tenaga menyembunyikannya dari mata tua beliau. Makin tetap keputusannya untuk terus bersama ibu.
“Ibu, justru dengan bersamamu aku yakin aku akan segera pulih. Gusti Allah tidak sare, begitu selalu yang ibu katakan selama ini, bukan? Aku juga yakin itu, Bu. Gusti Allah, melalui ibu, keluarga kita dan juga semua keindahan yang kutemui di sini akan menjadi penyembuhku, ” bisiknya di telinga ibu.
Dan tubuh renta itupun terguncang halus dalam tangis. Dibalasnya pelukan erat puteri tercintanya. Lantunan doa bersicepat dengan deras air matanya. Doa untuk kebahagiaan puteri tercintanya.
Malam semakin larut, dan dalam hangat pelukan ibunya Dea mengemas mimpi-mimpi usangnya. Ada mimpi baru yang sedang dirangkainya : melihat senyum bahagia ibu di tempat-tempat terindah di dunia ini. Aamiin…
54 Comments
Leave a reply →