Dolan Lombok : Berkunjung ke Desa Wisata Sukarara. Salam jumpa, Sahabat Lalang Ungu.. Meneruskan oleh-oleh cerita perjalan kami ke Lombok, kali ini aku ingin bercerita tentang kunjungan kami ke salah satu desa sentra / pusat kerajinan di Lombok, yaitu Desa Sukarara.
Baca juga : Drama-drama di awal perjalanan
Desa Wisata Sukarara Lombok
Tenun dan Lombok sepertinya adalah dua kata yang tak terpisahkan. Ya, kerajinan tenun adalah salah satu ciri khas wisata Lombok, baik itu Tenun Songket maupun Tenun Ikat.
Nah, Desa Sukarara ini adalah salah satu desa penghasil kain Tenun Songket yang sangat terkenal di Lombok, dan mengunjunginya merupakan salah satu tujuan wisata utama saat ke Lombok.
Pada kunjungan kami ke Lombok kemarin, kami sampai di Lombok tengah malam dan memutuskan bermalam di salah satu hotel yang dekat BIL yaitu Hotel Grand Royal BIL Lombok dan keesokan harinya memulai wisata dari yang terdekat yaitu Desa Sukarara ini.
Desa Sukarara (Sukarare dalam pengucapan Bhs Lombok) terletak di Kec. Jonggat, Kab. Lombok Tengah, Priv. Nusa Tenggara Barat, dan sebagian besar penduduknya merupakan Suku Sasak yang merupakan penduduk asli Pulau Lombok.
Perjalanan kami menuju Desa Sukarara ini terasa sangat menyenangkan dengan pemandangan khas pedesaan di sepanjang jalan setelah memasuki desa ini, yaitu hamparan sawah di kanan-kiri jalan dengan latar belakang langit nan biru yang sungguh memanjakan mata 😍
Sebagai salah satu Desa Wisata Tenun, tentu saja sebagian besar keluarga di desa ini melakukan kegiatan menenun di rumah mereka. Bahkan ada tradisi setempat, anak gadis baru boleh menikah bila telah bisa menenun sendiri. Jadi, di desa ini teman-teman bisa melihat aktivitas menenun di setiap rumah yang ada di sana, namun pada kesempatan kemarin kami khusus mengunjungi 1 tempat yaitu Pusat Kerajinan PATUH.
Mengunjungi Pusat Kerajinan Tenun ‘PATUH’ Desa Sukarara
PATUH ini adalah nama semacam koperasi atau bisa juga dibilang artshop yang menampung hasil kerajinan tenun dari masyarakat Desa Sukarara. Apa saja yang bisa kita lakukan di sini?
Mengamati Aktifitas Menenun
Pagi itu, saat mobil yang mengantar kami berhenti di halaman sebuah bangunan di Desa Sukarara, aku mengira kami langsung dibawa ke semacam toko hasil kerajinan khususnya tenun. Ternyata di tempat itu kami tidak hanya bisa melihat dan membeli produk-produk tenun saja, namun juga sedikit mengenal budaya Suku Sasak.
Seorang anak muda menyambut kedatangan kami, yang kemudian diperkenalkan sebagai semacam guide yang akan memberi penjelasan. Duh, maafkan..aku kok lupa nama si mas itu, padahal sempat ngobrol dia sebenarnya siswa SMA setempat yang bekerja part time di akhir pekan di tempat tersebut.
Selanjutnya kami diajak menemui seorang ibu yang sedang menenun dengan alat tenun tradisional di salah satu panggung di teras bangunan itu, tepatnya arah kiri pintu masuk. Sambil menenun, ibu itu bercerita tentang proses menenun suatu kain yang waktunya tergantung tingkat kerumitan motif tenunan yang sedang dikerjakannya.
Sebagaimana perempuan-perempuan di Desa itu, ia telah diajar ketrampilan menenun sejak kecil. Dan setelah dewasa ketrampilan itulah yang menjadi mata pencahariannya. Ibu itu sempat menyebutkan sejumlah angka yang didapatnya dari hasil menenun minimal 8 jam/hari, sejumlah angka yang agak jauh dari perkiraanku. Hm..padahal kalau melihat harga kain tenun -terutama songket- yang cukup lumayan menurutku, kukira penghasilan para penenun itu jauh lebih baik dari penuturannya. Yah, kita tak tahu bagaimana kondisi sebenarnya ya..
Sempat mencoba mengoperasionalkan alat tenun tradisional yang terbuat dari kayu-kayu itu, aku baru tahu bagaimana beratnya kegiatan itu. Saat menarik bilah kayu ke arah tubuh kita setelah benang-benang dimasukkan sesuai motif, bilah itu memberikan tekanan yang cukup besar ke arah perut. Hmm, lumayan juga rasanya! Itu cuma sekali dua kali..padahal mereka harus melakukannya seharian, setiap hari. Wow..salut kepada para wanita perkasa ini!
Oya, ibu itu juga sempat menjelaskan alasan penenun adalah wanita dan bulan pria, karena bila pria melakukannya, ditakutkan aktivitas itu dapat mengganggu kemampuan reproduksinya. Hm, entah benar atau tidak ya?
Berpose Menggunakan Baju Tradisional Lombok di Rumah Tradisional Sasak
Setelah berbincang dengan penenun dan mencoba alat tenun itu, kami pun memasuki ruang dalam bangunan itu. Di sini terdapat beragam hasil tenun untuk diperjual-belikan, baik berupa kain-kain, selendang, hiasan dinding hingga topi maupun cinderamata lainnya.
Tapi sebelum memilih-milih di sana, kami ditawarkan untuk mengenakan pakaian adat Lombok dan berpose di rumah tradisional yang ada di halaman samping. Aih..tentu saja kami tak menolak..haha..
Lambung adalah nama baju tradisional Lombok yang dikenakan oleh perempuan, berbentuk semacam baju kurung pendek dengan lingkar leher berbentuk V dan lengan terusan. Baju ini digunakan sebagai atasan adapun bagian bawahnya adalah kain tenun songket panjang yang dililitkan dipinggang sebatas mata kaki dan bernama Kereng. Sebagai ikat pinggang digunakan kain sabuk panjang yang bernama Tongkek yang diikatkan dengan ujung merumbai di sebelah kiri. Digunakan juga kain Lempot berupa selendang panjang yang disampirkan di pundak.
Sedangkan pakaian adat / tradisional untuk laki-laki bernama Pegon. Pada kunjungan kami kemarin tidak mengetahui perangkat pakaian ini terdiri dari unsur apa saja dan bagaimana pemakaiannya, karena kami datang berdua perempuan semua 😁
Setelah rapi menggunakan Lambung kami pun dipersilakan menuju ke halaman samping, rupanya di sana sudah disiapkan spot pepotoan, salah satunya adalah sebuah ruangan semi terbuka dengan hiasan beragam kain tenun sebagai latar belakang foto, dan satu lagi adalah Bale Tani.
Bale Tani adalah salah satu jenis rumah tradisional Sasak yang merupakan bangunan yang digunakan sebagai rumah tinggal, adapun jenis rumah tradisional lainnya adalah Lumbung yang digunakan sebagai penyimpan persediaan padi.
Belanja Hasil Tenun Sukarara
Nah, setelah mencoba alat tenun dan mengenal baju dan rumah tradisional Sasak -serta berfoto ria tentunya..hehe- kami pun dipersilahkan melihat-lihat ke gallery / artshop dan bisa membeli bila ada barang-barang menarik yang ingin di bawa pulang.
Aih, melihat aneka kain tenun maupun produk lain berbahan tenun di sini bisa makan banyak waktu nih. Nggak akan bisa sebentar deh! Puas-puasin memilih kain tenun Lombok di pusatnya ya!!
Nah Sahabat, itulah sekilas cerita kunjungan kami ke Desa Wisata Sukarara, bagian dari rangkaian cerita perjalanan kami ke Lombok beberapa waktu lalu. Keterbatasan waktu membuat kami harus puas berkunjung ke satu lokasi itu di Sukarara, dan berharap ada kesempatan lain untuk datang lagi ke sana, berjalan-jalan menikmati suasana Desa Sukarara atau mungkin mencicip masakan tradisionalnya..hehe.. Insya Allah..
Ohya, teman-teman bisa menyimak juga cerita dari mba Wati tentang belajar menenun di Desa Sukarara ini ya..
Apakah kalian juga punya pengalaman unik di Desa Sukarara ini, Sahabat? Yuk, bagi kisahnya di kolom komen ya.. Terima kasih..
Pingback: Dolan ke Lombok : Drama-drama di Awal Perjalanan |
Pingback: Dolan Lombok : Mengenal Adat, Budaya dan Romantika Dusun Sade |
Pingback: Dolan Lombok : Menikmati Siang di Gili Trawangan |