LALANG UNGU

Ruang berbagi pengalaman dan manfaat

Dolan Lombok : Mengenal Adat, Budaya dan Romantika Dusun Sade

| 65 Comments

Dolan Lombok : Mengenal Adat, Budaya dan Romantika Dusun Sade. Sahabat Lalang Ungu, kali ini aku akan lanjutkan kembali cerita jalan-jalan kami ke Lombok pada Maret lalu ya.. Setelah mengunjungi Desa Wisata Sukarara kami melanjutkan langkah -eh menggunakan mobil ding, hehe- ke salah satu Desa Wisata lain yang tak kalah terkenalnya di Lombok, yaitu Dusun Sade.

Welcome to Sade Village Lombok

Lokasi Sade

Sade adalah nama salah satu dusun yang mencerminkan gambaran desa tradisional Lombok sehingga sering menjadi tujuan wisatawan yang datang ke Lombok karena masih mempertahankan adat Suku Sasak yang merupakan suku asli Lombok. Berlokasi di Desa Rembitan, Pujut, Kab Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat.

Saat mendengar bahwa kami akan berkunjung ke sebuah desa tradisional Lombok, awalnya kukira kami akan menempuh jalan yang relatif susah dijangkau / semacam daerah pedalaman. Ternyata, perkiraan itu sama sekali salah!

Sade Village terletak di pinggir jalan raya yang sudah beraspal bagus. Sama sekali tidak ada susah payah untuk mencapai perkampungan ini, kami hanya tinggal menyeberang saja dari lokasi parkir di pinggir jalan raya itu. Mantaaab sekali! 🙂

Luas dan Jumlah Penduduk Sade

Sesampainya di tempat parkir Sade, kami diperkenalkan dengan seorang bapak yang akan menjadi pemandu kami saat mengeksplor Desa Sade. Amak Rahman, begitulah beliau memperkenalkan diri kepada kami. Orangnya ramah, suka bercanda, pandai bercerita dan…hasil potretannya pun cakep lho! Haha..penting banget yang terakhir ini ya..

Amak Rahman menceritakan kepada kami bahwa luas dari dusun Sade itu sekarang hanyalah sekitar 2 Ha, dihuni oleh 150 KK dengan total penduduk berjumlah 700 jiwa. Kampung ini mulai ada sejak tahun 1800 M dan mulai dibuka untuk kunjungan wisata sejak Tahun 1973. Hm, sudah lama juga ya..

Pengalaman kami di Dusun Sade

Bersama Amak Rahman kami memulai jalan-jalan di Sade ini dengan terlebih dahulu mendaftar di sebuah meja beratap ilalang yang terletak setelah pintu gerbang, di sini pengunjung menulis data diri di Buku Tamu dan memberikan donasi sukarela.

Pendaftaran tamu di Sade

Mba Wati sedang mengisi Buku Tamu di Sade

*Mengenal Adat Sasak di Sade

Sebelum berkeliling dusun, terlebih dahulu kami diajak duduk-duduk di semacam bangunan semi terbuka, di sana Amak Rahman bercerita tentang masyarakat setempat dan adat istiadatnya.

Tarian adat Sade Lombok

Salah satu seni budaya Sade yang sempat kami saksikan siang itu..

Masyarakat setempat bisa dikatakan merupakan sebuah keluarga besar karena berasal dari satu keturunan.  Di sana berlaku perkawinan dengan sesama warga setempat / kerabat dengan pernikahan secara adat, adapun pernikahan dengan suku lain akan dikenakan ‘denda’ seekor  kerbau jantan.

Amak Rahman menjelaskan mengenai beberapa istilah yang digunakan dalam pernikahan adat tersebut, a.l : rebak pucuk, merariq (kawin lari),  mesejati, linggih krame / sidang krame (resepsi), nyongkol (arak-arakan pengantin dari rumah pengantin pria ke rumah pengantin wanita), begawe (resepsi di rumah pengantin pria), dll.

Mahar / seserahan ajen-ajen dalam adat ini bisa berbentuk kain tenun warna-warni sejumlah 25 buah, 1 buah keris, umbaq (menyediakan 1000 kepeng, dimana 1 kepeng setara dengan Rp.10.000) dan 33 unit kain kafan. Wow, banyak juga ya maharnya..

Masyarakat di Sade mata pencahariannya adalah bertani untuk kaum pria sedangkan kaum wanita menenun. Dalam struktur sosial, masyarakat Sade dipimpin oleh Kepala Suku : Kordap Selaki. Kepala Suku ini turun temurun, demikian juga pemangku adat dan Kyai. Dalam kesehariannya digunakan Bahasa Sasak Jamak (murni, tidak ada campuran dari suku lain).

Penenun Desa Sade

Inak Dul sedang menenun. Menenun adalah pekerjaan utama perempuan Sade. Di latar belakang adalah kain2 cantik hasil tenunannya

*Menyusuri Dusun Sade

Bersama Amak Rahman kami kemudian berjalan kaki menyusuri Dusun Sade yang tak terlalu luas itu. Bangunan-bangunan di sini sangat khas : berdinding anyaman bambu, tekan / tiang kayu dan atap dari alang-alang kering.

Menyusuri Desa Sade

Bersiap menyusuri Desa Sade (Foto by Amak Rahman)

Terdapat beberapa jenis arsitektur bangunan / rumah di Sade ini, antara lain : Bale Tani / Bale Gunung Rate; Bale Bonter; Bale Lumbung; Bale Balaq dan Bale Kodong. Masing-masing mempunyai pemanfaatan yang berbeda.

Bale di Desa Sade Lombok

Bale (rumah tradisional) di Desa Sade

Bale Tani / Bale Gunung Rate misalnya, merupakan bentuk bangunan yang digunakan untuk tempat tinggal. Terdiri dari 2 ruang utama yaitu ruang luar untuk menerima tamu dan tempat tidur anggota keluarga serta ruang dalam (yang letaknya lebih tinggi) dan terdiri dari dapur dan kamar tidur anak gadis. Lantai rumah dari tanah liat yang dikeraskan/dicampur dengan kulit padi, dan dibersihkan dengan kotoran kerbau. Dipercaya hal ini akan menjauhkan penyakit dari rumah ini.

Di Desa Sade Lombok

Bersama Baloq Rahman di depan Bale Kodong Desa Sade. Baloq (nenek) ini adalah salah satu sesepuh di dusun ini.

Bale Lumbung adalah bangunan yang digunakan untuk menyimpan hasil panen, sedangkan Bale Kodong adalah bangunan relatif kecil yang biasanya untuk tempat tinggal pasangan yang baru menikah. Bale Bonter adalah bangunan di tengah pemukiman yang digunakan sebagai tempat pertemuan.

Di depan Bale Lumbung Sade

Bersama mba Wati di depan Bale Lumbung (Foto by Amak Rahman)

Di Bale Tani Sade Lombok

Pose sejenak di ruang luar salah satu Bale. Pintu di belakangku menuju ke ruang dalam. (Foto by Amak Rahman)

*Melongok ke Masjid Unik di Desa Sade

Amak Rahman & Mba Wati di depan Masjid Nur Syahada

Dulu masyarakat Sade menganut kepercayaan animisme, agamanya Islam Wetu Telu, namun sekarang sudah menganut Islam sepenuhnya. Oya, terdapat sebuah masjid di Desa Sade ini yang sekarang sudah dipugar dan tampak indah. Terletak di tengah pemukiman yang terdiri dari rumah-rumah tradisional Sasak, masjid Nur Syahada yang dindingnya berhiaskan anyaman bambu  dan beratapkan alang-alang kering ini tampak cantik dan harmonis dengan lingkungan sekitarnya.

Detil cantik dinding Masjid Nur Syahada

Di Pintu Masjid Nur Syahada

Pose sejenak di pintu masuk Masjid Nur Syahada (Foto by Amak Rahman)

*Berpose di bawah Pohon Cinta

Siang itu kami asyik berjalan-jalan di lingkungan Sade sambil mendengarkan penuturan Amak Rahman tentang segala hal yang kami temui di sana. Sesekali berhenti mengagumi kain-kain tenun maupun cinderamata khas yang dijajakan di teras-teras rumah di sana.

Lalu di suatu tempat, tiba-tiba Amak meminta kami untuk duduk berdua di bawah sebuah pohon kayu kering di persimpangan jalan-jalan setapak yang di kelilingi rumah-rumah.

“Silakan istirahat dulu di sini, sambil kita lihat apakah kalian diberkahi / tidak,” demikian kata beliau sambil senyum-senyum dan meminta HP-ku untuk memotret kami berdua.

Berpose di bawah Pohon Cinta, yang ini bukan untuk dilarikan lho…

Eh, apa maksudnya Si Bapak ini? Apakah itu tempat keramat? Apakah boleh kami duduk begitu saja di sana? Kami berdua berpandangan agak bingung.

“Ini lah yang dinamakan Pohon Cinta,” Amak Rahman kemudian menjelaskan sambil menunjuk pohon kering di belakang kami. Kami mengamati pohon kering itu, apa istimewanya selain bentuknya yang tampak artistik tegak menjulang di tengah kumpulan rumah beratap alang-alang kering yang menimbulkan suasana eksotik itu?

Pohon Cinta Desa Sade

Pohon Cinta di Desa Sade

Sahabat, salah satu adat di sini adalah merariq yaitu proses menikah yang dimulai dengan penculikan si gadis oleh calon suaminya. Penculikan ini terencana atau disepakati oleh keduanya, semacam kawin lari begitulah. Nah, Pohon Nangka (yang sekarang sudah mati) di belakang rumah-rumah inilah yang menjadi tempat bertemu sebelum si gadis dilarikan ke keluarga/teman si lelaki. Karena menjadi saksi cinta dari banyak pasangan di desa ini, maka mereka kemudian menyebutnya sebagai Pohon Cinta. Begitulah sejarahnya, sahabat..

Sahabat Lalang Ungu, begitulah cerita perjalananku kali ini yaitu pengalaman berkunjung ke Dusun Sade Lombok. Secara keseluruhan kami sangat menikmati kunjungan ini. Suasana desa dengan bangunan-bangunan khasnya terasa mengesankan.

Meski saat berkunjung itu siang cukup terik tapi kami tetap asyik dan merasa nyaman berjalan-jalan di sana. Masyarakatnya juga tampak telah terbiasa menerima kunjungan-kunjungan wisatawan. Ada rumah / bale khusus yang disediakan untuk dikunjungi hingga ke dalam, namun privasi rumah-rumah lain tetap terjaga.

Hampir semua rumah memajang kain dan suvenir hasil kerajinan tangan mereka, namun tidak saling berebut menawarkan / menarik perhatian pengunjung untuk dibeli. Suasananya ya suasana sebuah kampung permukiman, bukan suasana pasar. Hehe.. Untuk kain-kain tenun yang cantik-cantik di sini harganya relatif terjangkau. Menurutku, lebih baik beli di Sade daripada di pedagang asongan di pantai-pantainya. Kualitasnya lebih terjamin 🙂

Sahabat, pernah berkunjung ke Sade juga? Atau sedang berencana ke sana? Yuk bagi ceritanya di kolom komen ya..

***

Catatan : mohon maaf apabila ada kesalahan dalam menuliskan istilah / informasi terkait adat budaya di sini. Apabila ada Sahabat yang lebih paham boleh memberikan koreksi bila ada yang kurang tepat ya..

65 Comments

  1. Pingback: Dolan Lombok : Menjelang Sore di Pantai Tanjung Aan & Bukit Merese |

  2. Pingback: Dolan Lombok : Menikmati Siang di Gili Trawangan |

  3. Pingback: Singgah Sejenak di Masjid Raya Hubbul Wathan Mataram |

Leave a Reply

Required fields are marked *.