“Makan yuuk..”
“Yuk lah.. Makan apa, enaknya ya?”
“Garang Asem, mau?”
“Boleh lah..sudah lama gak makan Garang Asem nih aku”
“Ok deh..yuk cabut..”
Lalu keduanya pun berboncengan menuju kawasan Alun-alun Kota Pekalongan, langsung menuju sebuah warung makan yang malam itu tak terlalu ramai pengunjungnya.
“Garang Asem kaliyan Es Jeruk kaleh, Pak” (Garang Asem dan Es Jeruk dua , Pak), Lelaki itu langsung berkata ke bapak penjual sambil memandu temannya untuk berjalan menuju salah satu sudut meja panjang. Rupanya ia telah beberapa kali ke sana, sementara temannya yang mengekor di belakangnya baru sekali itu ke sana.
Tak lama mereka menunggu, pesanan mereka pun segera tersaji di hadapan mereka. Dua gelas Es Jeruk, dua piring nasi putih lengkap dengan megono di atasnys dan dua piring lain berisi masakan berkuah gelap dengan potongan daging, sebutir telur cokelat, potongan tomat hijau dan cabe rawit yang pating krampul (mengambang) di kuahnya.
Si Lelaki yang memesan menu tadi langsung meraih piring terdekat dan mulai menyantap, sementara teman wanitanya justru tertegun menatap hidangan itu.
“Ayuk makan…kok malah bengong..” ujar lelaki itu saat menyadari sikap temannya.
“Kok rawon, jare pesen Garang Asem?” (Kok Rawon, katanya mau pesan Garang Asem) jawab temannya sambil mengaduk-aduk makanan berkuah di depannya.
Lelaki itu pun tertawa… Ah, untung makanan di mulutnya telah ditelan sebelumnya, sehingga tak terjadi hal heboh penyemburan makanan.
Perempuan itu agak cemberut. “Apa yang lucu sih?” tuntutnya.
“Lha ya ini , Garang Asem Pekalongan,” katanya sambil menunjuk piring berisi masakan berkuah di depan mereka, “bukan Rawooon” lanjutnya kemudian.
Perempuan itu lalu menyendok kuah dan sepotong daging, lalu mencicipinya. Hm, memang rasanya tidak seperti Rawon meskipun penampilannya mirip Rawon tanpa tauge. Kuahnya lebih encer dari kuah Rawon, dan rasanya gurih-gurih asem.
Meskipun awalnya ia masih merasa agak aneh dengan masakan yang baru sekali itu disantapnya, perempuan itu akhirnya menikmati makan malamnya dengan lahap 😋
…
Sahabat Lalang Ungu, kejadian dan petikan percakapan di atas itu benar-benar terjadi, tepatnya pada masa-masa awal aku menjadi warga Kota Batik, di sekitar tahun 90-an. 😀
Itu lah saat pertama aku mencicip Garang Asem Pekalongan yang ternyata amat sangat berbeda -baik rasa maupun penampilannya dengan Garang Asem yang kukenal sebelumnya, yaitu masakan berbahan ayam yang dibumbui dan dikukus dengan menggunakan daun pisang dan kuahnya nyemek alias hanya sedikit.
Ingatanku kembali melayang ke kejadian itu ketika kemarin rekan Blogger Pekalongan mengajakku untuk hadir di acara Launching Buku ‘Garang Asem H.Masduki’ buah karya penulis Taufiq Emich.
Wah, apakah pemilik usaha ini akan berbagi resep masakan andalannya, atau resep sukses usahanya? pertanyaan-pertanyaan itu muncul di benakku, mendorongku untuk mengiyakan ajakan itu.
Begitulah, Minggu 10 Nopember 2019 sekitar jam 8 pagi aku telah sampai di RM Garang Asem H.Masduki yang terletak di Jl. Jendral Sudirman No 169 Pekalongan itu. Ternyata belum banyak yang hadir tepat waktu, sehingga aku masih leluasa memilih tempat duduk di pendopo yang digunakan untuk acara launching pagi itu..hehe..
Acara pagi hingga siang hari itu ternyata cukup meriah. Dihadiri oleh Walikota Pekalongan dan juga tokoh-tokoh masyarakat Kota Pekalongan lain, juga audience perwakilan dari komunitas di Kota Pekalongan, termasuk di antaranya Blogger Pekalongan.
Diawali dengan sambutan Walikota Pekalongan yang merasa senang dengan dibuat dan diterbitkannya buku ini, dan berharap buku ini bisa menjadi salah satu sumber rujukan saat membahas mengenai Kota Pekalongan, khususnya Kuliner Kota Pekalongan dan lebih khusus lagi Garang Asem Pekalongan.
Selanjutnya Taufiq Emich Sang penulis serta Bp H Slamet Sudiono (penerus usaha Garang Asem H Masduki) bergantian membeberkan tentang latar belakang dan proses pembuatan buku cantik ber-cover tebal (hard cover) .
Ternyata buku ini sengaja ditulis dan diterbitkan berawal dari gagasan H. Slamet sebagai upaya untuk mendokumentasikan hasil kerja keras ayahandanya (H.Masduki) dalam merintis hingga membesarkan usaha RM.Garang Asem H.Masduki ini. Sumber penulisannya adalah penuturan dari keluarga besar H.Masduki, penggalan-penggalan kenangan Bp Slamet selaku putera dan penerus usaha H.Masduki dan juga dari Bp. Syis Thamrin, adik kandung / satu-satunya saudara kandung H.Masduki yang masih ada.
Di dalam buku setebal 88 halaman ini memang tak akan kita dapati sebuah resep pun tentang Garang Asem Pekalongan..karena memang ini bukan buku panduan memasak..hehe.. Sebaliknya sarat dengan kisah flashback perjalanan usaha H.Masduki dan juga H.Slamet penerusnya, kisah jatuh-bangun dalam berusaha yang dapat kita ambil manfaatnya. Berikut ini salah satu kutipan dari buku ini :
Berdasarkan pengalaman berkecimpung di dunia kuliner, H. Slamet berkesimpulan bahwa ada tiga pilar penyangga, yakni : dapur sebagai ruang aktivitas produksi, warung/rumah makan sebagai ruang etalase marketing dan pelanggan sebagai apresiatif sekaligus promotor produk. Namun, tiga pilar penyangga itu mesti dihidupkan dengan suatu spirit yang oleh H.Slamet disebut sebagai insting bisnis. Dan ketajaman insting bisnis ini tak muncul secara instan, tapi berkat latihan dan tempaan yg panjang. (hal 68)
Tentang Garang Asem a la Pekalongan yang selanjutnya dikenal sebagai Garang Asem H.Masduki itu sendiri, dikisahkan mulai disajikan di warung makan H.Masduki sejak tahun 1979 (saat itu baru berupa warung kecil di area Alun-alun Kota Pekalongan), sebagai salah satu upaya mempertahankan usahanya dengan menjaring pelanggan melalui menu baru yang saat itu belum ada yang menjual.
Bu Raini -istri Pak Masduki- lah yang menyebut nama masakannya itu sebagai Garang Asem, karena dihidangkan langsung panas-panas dari panci besar yang digarang / dipanasi di atas tungku yang terus menyala, dan kuahnya yang berwarna kecoklatan (karena hanya menggunakan bumbu kluwek / kepayang seperlunya) ini bercita-rasa asam segar, berkat digunakannya potongan tomat hijau atau Belimbing Wuluh dalam resepnya (Hal 33)
Penyajiannya Garang Asem H.Masduki ini sengaja menggunakan piring dan bukannya mangkuk, agar potongan-potongan daging, tomat hijau dan juga cabe rawitnya semakin menggoda pelanggan. Hal ini sekaligus merupakan pembeda dari warung lain, salah satu upaya branding Garang Asem H.Masduki yang tanpa disadari telah dilakukan oleh H.Masduki.
Dalam kesempatan kemarin hadir juga Bp Weda Abdur Rochim, salah satu budayawan Pekalongan yang juga mengulas tentang buku ini. Bahkan pada akhir acara, khusus menyanyikan lagu baru ciptaan beliau bertajuk ‘Garang Asem H.Masduki’ sebagai bentuk supportnya terhadap salah satu ikon kuliner Pekalongan ini.
Oya, buku ini juga dilengkapi dengan foto-foto tentang Pekalongan : tempat-tempat yang terkait dengan usaha kuliner ini, beberapa kuliner Pekalongan lain (Megono, Tauto, dll), juga foto-foto H.Masduki dan keluarganya. Sayangnya ada beberapa foto yang kurang bagus kualitas gambarnya (pecah) sehingga sedikit kurang nyaman dinikmati..
Acara siang itu diakhiri dengan makan bersama, tentu saja dengan menu khas Garang Asem Pekalongan, ditemani menu khas lainnya yaitu Megono, dan Tomat Pete! Hmm…nikmaaat..
Penasaran dengan cita rasa Garang Asem a la Pekalongan? Capcus mampir saja ke RM Garang Asem H.Masduki di Pekalongan ini. Menu-menu khas Pekalongan lainnya juga tersedia di sini, dan tempatnya asyiiik..bernuansa tradisional Jawa bahkan ada spot pepotoan a la jejadulan lho.. Mantab pokoknya!! Buku ini pun bisa diperoleh di RM ini, teman…
Pssst, tapi hati-hati dengan menu-menu di sini yaaa… Numani alias bikin ketagihan lho! Haha.. Yuklaah, kulineran di Pekalongan…
27 Comments
Leave a reply →